sumber(
eramuslim.com/)
"Berqorban untuk Selain Allah"
"
Coba kita bandingkan dengan kemusyrikan zaman kini, ketika tidak ada bencana, mereka menyembelih kerbau kemudian kepalanya disajikan kepada Merapi dan sebagainya. Begitu Merapi meletus, mereka menyembelih kerbau dan kepalanya disajikan pula ke Merapi.."
Pembodohan sekaligus penyesatan terhadap Umat Islam sebegitu suksesnya sehingga sangat sulit diluruskan apalagi diberantas. Bahkan pembodohan dan penyesatan terhadap Umat Islam itu telah menjadi dagangan khusus bagi orang-orang tertentu yang mengeruk keuntungan dari sana. Sehingga ketika ada yang dianggap akan mengusiknya, maka serentak sontak dihalangi sekeras-kerasnya.
Pembodohan dan penyesatan yang disoroti di sini di antaranya adalah:
- Bersifat structural
- Berkedok religious atau agamis
- Sosialisasi pembodohan dan penyesatan oleh media-media bermisi busuk.
Mari kita tengok, seperti apa pembodohan dan penyesatan lewat tiga jalur itu.
1. Pembodohan dan Penyesatan Struktural
Pembodohan dan penyesatan terhadap Umat Islam secara structural (berkerangka) ini jalurnya dari atas ke bawah. Karena dari atas ke bawah, maka tampaknya tidak mempan adanya nasihat sampai kritikan tajam sekalipun. Apalagi ketika pembodohan dan penyesatan itu telah dilaksanakan secara turun temurun.
Bagaimana membodohi dan menyesatkan Umat Islam berkaitan dengan Gunung Merapi yang dianggap penjaganya adalah Mbah Petruk yang perlu diberi sesaji (upacara kemusyrikan, dosa paling besar dan dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam, hingga mengakibatkan kekal di neraka) dan penguasa laut Kidul (Selatan) Nyai Roro Kidul yang diberi sesaji pula. Itu dilestarikan justru dari pusat kraton (kerajaan) secara turun temurun.
Tradisi Suro (Muharram)
Bukan hanya bulan Syawal yang telah dijadikan momen mensosialisasikan kemusyrikan dan aneka kemunkaran lainnya, tetapi juga bulan Muharram alias bulan Suro dalam istilah Jawa. Kemungkinan istilah Suro diambil dari
‘Asyura (hari ke sepuluh). Di dalam ajaran Islam, memang disyariatkan menjalankan puasa ‘Asyura di bulan Muharram yaitu tanggal 10 Muharram, dan lebih baiknya dengan tanggal 9, agar menyelisihi Yahudi yang memperingati tanggal 10 Muharram itu karena mereka selamat dari Fir’aun. Di Dalam Islam, tidak ada perayaan apa-ap, apalagi yang aneh-aneh, bermuatan syirik kepada Alah, bermuatan kemunkaran dan sebagainya.
Oleh sebagian orang, malam 1 Muharram atau malam 1 Suro diisi dengan berbagai kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan Islam. Misalnya, masyarakat Kaliurang Jogjakarta mengisi malam 1 Suro dengan menggelar kirab
Topo Bisu, yaitu mengelilingi seluruh kawasan wisata di Kaliurang, tanpa bicara sedikit pun seraya mengucapkan doa (permohonan) di dalam hati. Peserta kirab, yang jumlahnya ratusan itu, berbusana Jawa lengkap dengan pernak-pernik khas Jawa.
Di Keraton Kasunanan Surakarta, pada malam 1 Suro tahun lalu, dirayakan dengan menggelar kirab pusaka dengan mengarak Kebo Kyiai Slamet. Kala itu, Keraton Surakarta hanya mengarak empat ekor kebo bule Kyai Selamet, sebab sebagian kebo ngambek dan lainnya mengamuk. Akibat, kejadian ini, warga Solo menyimpulkan ngambeknya kebo tersebut pertanda akan terjadi sesuatu di tanah Jawa. (Ini kepercayaan
tathayyur, menganggap suatu kejadian diyakini sebagai perlambang akan datangnya sial).
Masyarakat Jogjakarta, mengisi malam 1 Suro dengan melakukan tirakat
Mubeng Beteng (memutari benteng) Keraton Yogyakarta sebanyak tujuh kali tanpa bicara. Itu merupakan salah satu tirakat, salah satu laku (amalan) yang dipercaya dapat menyingkirkan marabahaya yang akan menimpa Jogjakarta.
Bagi masyarakat Jogja yang memiliki benda pusaka (seperti keris, tombak, wesi aji, dan sejenisnya), pada saat itu mengkhususkan diri memandikan atau mencuci (
njamasi) benda-benda pusaka tadi dengan air kembang setaman. Karena, mereka percaya benda-benda pusaka tadi memiliki kekuatan supranatural.
Di kawasan Parangtritis, Kabupaten Bantul, setiap malam satu Suro, sejumlah masyarakat memadati kawasan itu, khususnya di sekitar Puri Parangkusumo untuk memanjatkan doa (permohonan), entah kepada siapa. Puri Parangkusumo dipercaya sebagai tempat pertemuan asmara antara Panembahan Senopati (pendiri kerajaan Mataram Islam) dan Nyi Roro Kidul. Di tempat ini digelar ritual khusus bagi mereka yang percaya tentang masalah kejawen (ilmu kebatinan).
Malam 1 Suro bagi masyarakat Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, diisi dengan melakukan ritual sedekah di Gunung Merapi (Sedekah Merapi), berupa mempersembahkan kepala kerbau dan tujuh tumpeng nasi kepada leluhur Kyai/Nyai Singomerjoyo, Kyai/Nyai Simbarjaya, Nyai Gadung Melati (penunggu kawasan Pasar Bubrah) dan Kyai Petruk (penguasa seluruh Merapi). Tujuannya, agar Gunung Merapi tidak marah lagi dengan letusannya. Ritual ini dilengkapi pula dengan melantunkan shalawat dan memanjatkan doa berbahasa Arab (secara Islam?).
Bersamaan dengan itu, kepala kerbau dan tujuh tumpeng nasi sebagai materi sedekah pun dibawa ke kawah Merapi dan dilabuh di sana. Meski ada lantunan shalawat dan doa berbahasa Arab, namun demikian tradisi ini tidak lepas dari dosa berbuat syirik kepada Allah dan dosa berupa perbuatan tabzir. (Hartono Ahmad Jaiz dkk, Pangkal Kekeliruan Golongan Sesat, Pustaka Nahi Munkar, Surabaya, 2009, halaman 208-209).
Berquban untuk salain Allah Ta’ala
Perlu diketahui, memberikan sesaji kepada apa yang disebut penguasa gunung Merapi ataupun laut ataupun lainnya, itu adalah kemusyrikan, mengakibatkan ke neraka. Apalagi menyajikan kepala kerbau kepada Thaghut (sesembahan selain Allah Ta’ala), sedangkan hanya menyajikan (berqurban) dengan lalat saja ketika untuk penyembahan selain Allah Ta’ala maka mengakibatkan masuk neraka.
Di dalam hadits dinyatakan, ada orang yang masuk neraka hanya karena berkorban dengan lalat. Tidak sampai bernilai tinggi apalagi ratusan juta rupiah, hanya dengan berkorban lalat saja karena untuk syetan, maka akibatnya masuk neraka. Haditsnya sebagai berikut:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Ada seorang yang masuk naar (neraka) karena lalat dan seorang lainnya yang masuk jannah (surga) karena lalat. Maka para sahabat radhiyallahu ‘anhu bertanya, Bagaimana bisa begitu wahai Rasulullah? Maka jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Dua orang lelaki lewat pada suatu kaum yang memiliki berhala yang tidak boleh dilewati tanpa berkorban sesuatu. Maka kaum itu berkata kepada lelaki yang pertama, Sembelihlah kurban! Jawab lelaki tersebut, Aku tidak punya sesuatu untuk dikorbankan. Maka kata kaum tersebut, Berkurbanlah walau hanya dengan seekor lalat! Maka lelaki itu melakukannya dan ia bisa lewat dengan selamat, tetapi ia masuk naar (neraka). Maka hal yang sama terjadi pada lelaki yang kedua, saat diminta berkurban ia menjawab, Aku tidak akan berkurban kepada sesuatu pun selain Allah ‘Azza wa Jalla, maka lelaki yang kedua ini dipenggal kepalanya oleh mereka dan ia masuk jannah (surga). (HR. Ahmad dalam Az-Zuhd halaman 15, 16, dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/ 203 dari Thariq bin Syihab dari Salman Al-Farisi, mauquf, dengan sanad shahih).
Dalam kasus bencana meletusnya Gunung Merapi, agaknya tidak terlalu berlebihan apabila ada yang mengatakan bahwa kemusyrikan di zaman kini kadang lebih dibanding kemusyrikan di zaman dahulu. Karena di zaman dahulu, orang-orang musyrik ketika tertimpa musibah maka mereka meminta kepada Allah Ta’ala untuk melepaskan dari musibahnya. Baru setelah lepas dari bencana kemudian mereka berbuat kemusyrikan lagi.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan firman Allah Ta’ala
(Tidak), tetapi hanya Dialah yang kamu seru, maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepadaNya, jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah). (QS Al-An’am/ 6: 41).
Artinya; di waktu darurat kamu sekalian tidak berdoa kepada satu pun selain-Nya, dan hilanglah dari kalian berhala-berhala kalian dan tandingan-tandingan kalian (terhadap Allah Ta’ala). Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih. (QS al-Israa’/ 17: 67). (Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 256).
Coba kita bandingkan dengan kemusyrikan zaman kini, ketika tidak ada bencana, mereka menyembelih kerbau kemudian kepalanya disajikan kepada Merapi dan sebagainya. Begitu Merapi meletus, mereka menyembelih kerbau dan kepalanya disajikan pula ke Merapi..