Jumat, 21/01/2011 [eramuslim.com]
Setelah redup dan tertutup, maka sekarang angin keterbukaan hadir bagi partai-partai dan gerakan Islam untuk mendapatkan legitimasi politik di Tunisia setelah selama puluhan tahun mereka 'tertindas' oleh rezim otoriterBen Ali yang bergaya "Ataturk" di negara Afrika Utara tersebut.
Terusir dan jatuhnya Presiden Tunisia Zine El Abdine Ben Ali telah membawa cahaya terang bagi seluruh partai-partai oposisi yang pernah dilarang oleh mantan rezim itu termasuk kelompok-kelompok Islamis.
Yang paling menonjol dari seluruh partai Islam Tunisia adalah Partai Renaisans atau An-Nahdhah, di bawah kepemimpinan Syaikh Rasyid Ghannouchi.
Penampilan Rasyid Ghannouchi di media mengecam rezim Ben Ali setelah "Revolusi melati" membawa rasa baru pluralitas yang dapat mencakup bergabungnya partai-partai Islam dalam membentuk pemerintahan Tunisia baru.
Partai An-Nahdhah, didirikan pada tahun 1981, berfokus pada menghidupkan kembali peran masjid, menolak pemisahan antara agama dan negara dan mendukung Arabisasi pendidikan sambil mempertahankan pembelajaran untuk bahasa asing.
Dianggap sebagai wakil utama Islam politik di Tunisia, an-Nahdhah bertujuan membuktikan penerapan Islam dalam segala hal kehidupan dan menolak kekerasan sebagai sarana perubahan sementara menegaskan pentingnya konsultasi (syura) dalam menyelesaikan politik, budaya, dan isu-isu intelektual.
Gerakan Salafi
Gerakan Salafi, di bawah kepemimpinan Syaikh al-Khatib al-Idrisi, adalah yang paling terbaru dari tren Islam di Tunisia dan telah menyaksikan akhir-akhir ini pertumbuhan nya secara diam namun nyata berkembang.
Gerakan ini tidak terlibat dalam politik dan terbatas perannya ke kajian-kajian di masjid, tetapi selalu menjadi sasaran oleh rezim Ben Ali. Al-Idrisi, yang berasal dari pusat gubernuran Sidi Bouzid, ditangkap pada tahun 2006 setelah terjadi bentrokan dengan pihak keamanan.
Idrisi dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun atas tuduhan mengeluarkan fatwa bahwa sanksi tindakan jihad dan mengkover kegiatan teroris.
Seorang pria buta berusia 56 tahun, Idrisi mulai mendapatkan popularitas di kalangan pemuda Tunisia pada tahun 2005, beberapa tahun setelah ia pulang dari Saudi, di mana ia bekerja di keperawatan, dan sejauh ini merilis tiga buku dan menulis buku penafsiran Quran yang belum dipublikasikan.
Para anak muda Salafi terutama aktif di internet khususnya di situs jejaring sosial seperti Facebook. Namun, mereka tidak menyebut diri mereka sebagai Salafi dan tidak menyatakan milik gerakan Salafi.
Menurut Asosiasi Internasional untuk Mendukung Tahanan Politik, kelompok usia anggota yang ditahan dari gerakan Salafi berkisar dari 25 hingga 30 tahun dan kadang-kadang turun ke 19 tahun. Semua tahanan ditangkap berdasarkan hukum terorisme.
Gerakan Hizbut Tahrir
Partai Pembebasan Islam (Hizbut Tahrir) didirikan di Yerusalem pada tahun 1953 oleh Syaikh Taqiuddin al-Nabhani, seorang deflektor dari Ikhwanul Muslimin. Partai ini mulai mendapatkan tempat di Tunisia pada tahun 1973 dan berhasil menarik beberapa perwira militer, yang menyebabkan pemerintah menuduh mereka mempersiapkan sebuah kudeta militer.
Anggota Hizbut tahrir yang diadili pada tahun 1983 1986, dan 1990, dengan sidang terakhir termasuk terhadap 228 terdakwa. Penangkapan dan pengadilan diperpanjang hingga 2006 dan setelahnya, namun HT membuktikan mereka tetap berhasil aktif walau tindakan keamanan yang ketat diberlakukan oleh pemerintah. Beberapa anggota HT menghadapi persidangan militer.
Meskipun meyakini pentingnya memiliki perwira tentara bergabung dalam jajaran kelompoknya dan peran militer dalam mempengaruhi perubahan, Partai Pembebasan Islam (Hizbut Tahrir) menolak konflik bersenjata dan penggunaan kekerasan dan mendukung pluralitas dalam kerangka Islam.
Sekte Syiah
Dr Muhammad al-Tijani al-Samawi yang memulai propagasi keyakinan Syi'ah di Tunisia
Munculnya iman Syiah di Tunisia dimulai ketika ulama Tunisia Dr Muhammad al-Tijani al-Samawi menerbitkan sebuah buku berjudul "Lalu Saya akan Dipandu", di mana ia menceritakan kisah konversi dirinya ke sekte Syi'ah.
Namun, sekolah sekte Syiah mulai menjadi populer di Tunisia setelah tahun Revolusi Syiah di Iran tahun 1979 dan mulai dengan menarik beberapa anggota dari partai An-Nahdhah.
Jumlah Syi'ah meningkat dengan pertumbuhan pengaruh tokoh Syi'ah tertinggi Iran Ayatollah Khomeini di awal 1980-an. Gelombang Syi'ah dikenal sebagai "orang-orang yang mengikuti Imam."
Hubungan antara partai An-Nahdhah dan kelompok Syiah penuh dengan ketegangan. Syaikh Rasyid Ghannouchi dilarang pergi ke Iran dan ia menuduh rezim Iran mendukung rezim Ben Ali dan bersekongkol dengan presiden melawan dirinya.
Syiah di Tunisia diberi relatif kebebasan selama rezim Ben Ali. Mereka diperbolehkan untuk melakukan perjalanan ke Irak dan Iran dan mereka dilaporkan mendanai seminari Syiah di kota suci Najaf dan Qom.
Menurut peneliti Islam Salah al-Din al-Jourshi, jumlah Syi'ah di Tunisia tidak melebihi 2.000, sedangkan Samawi menegaskan mereka berjumlah ratusan ribu.
Kelompok Islam Progresif
Gerakan Progresif Islam adalah sebuah cabang dari partai An-Nahdhah dan terdiri dari mahasiswa, dosen, dan intelektual yang berorientasi Islam dan tertarik dalam membaca ulang warisan dari Ikhwanul Muslimin, yang merupakan inti utama dari ideologi Islam modern.
Gerakan Islam Progresif, yang dibentuk pada akhir tahun 1970, menolak ekstremisme dan terbuka untuk ide-ide progresif dari kedua kelompok Sunni dan Syiah, termasuk liberal dan kaum kiri.
Gerakan ini secara bertahap menjauhkan diri dari induknya, An-Nahdhah, sampai akhirnya mendeklarasikan independensinya pada tahun 1980.
Gerakan Islam Progresif, yang tidak memiliki ambisi politik dan tidak berusaha untuk mencapai kekuasan, akhirnya bubar dan sebagian besar anggotanya kini berafiliasi dengan Forum al-Jahiz, yang bertujuan untuk menghidupkan kembali lingkungan intelektual di Tunisia dan berfokus pada menarik warga Arab dan cendekiawan Muslim.(fq/aby)