Oleh M .jono AG
Adzan Magrib baru saja berkumandang. Walaupun seharian ini hujan terus mengguyur, tak menyurutkan minat anak–anak sore itu untuk mendatangi musholla dekat tempat tinggal mereka. Sebagian ada yang didampingi orang tuanya, sebagian lagi berangkat sendiri dengan terlebih dahulu mampir ke teman sepermainan.
Halaman musholla yang tadinya sepi sekarang ramai dengan riuhnya bocah–bocah kecil itu. Ada yang masih memanjat pagar, ada yang bermain kejar-kejaran dan beberapa lagi nampak berwudhu walaupun masih jauh dari sempurna. Paling tidak tangan, wajah dan kaki sudah dibersihkan. Kalau kebetulan disampingnya ada orang dewasa biasanya mulai benar wudhunya. Mereka akan ikuti dari awal sampai akhir. Maklum usia mereka sebagian masih sekitar empat tahunan.
Sekitar sepuluh menit kemudian iqomahpun terdengar dikumandangkan. Mereka berlari berlarian masuk musholla agar bisa menempati shaft ke dua minimal. Tapi kadang-kadang mereka menempati shaf pertama kalau kebetulan jamaah dewasanya agak kurang. Kulihat salah seorang jamaah mulai mengatur anak-anak itu dengan sabar. Satu per satu diatur rapatnya badan dan kaki dengan teman disebelahnya. Itupun masih harus ditambah dengan nasehat tidak boleh ramai kalau sedang sholat.
Begitu imam mengumandangkan takbiratul Ihram suasana menjadi hening. Anak- anakpun terdiam karena baru mulai takbir. Begitu Al-fatihah dibaca secara jahr, mulailah mereka yang sedikit hafal bacaan tersebut ikut mengeraskan bacaannya mengikuti imam. Satu anak ikut membaca yang lain sepertinya tidak mau kalah, lebih nyaring lagi malah. Jadilah bacaan Al-fatihah itu seperti koor. Dan koor itu baru berhenti ketika imam membaca surah pendek yang mereka belum kenal apalgi hafal. Sholatpun kembali tenang dan hening.
Rokaat kedua dimulai. Saat Al-fatihah kembali dibaca oleh imam dengan tartil, mulailah anak–anak itu kembali mengikuti. Salah satu dari mereka menegur dengan pelan maksudnya : "jangan ribut , biar pak imam saja yang baca !" Rupanya dengan usia yang memang belum sampai, diapun menimpali : "aku bisa kak , alhamdulillahi robbil ‘alamin ..." Diteruskannya bacaan tadi sampai batas dia hafal. Kakaknya yang lebih besar mencoba menenangkan suasana dengan member kode supaya anak itu diam. Itupun tidak mempan karena memang belum faham. Bahkan dia mulai berlari kekanan dan kekiri sambil mengganggu kakak-kakaknya yang mulai belajar khusyu.
Suasana gaduhpun tak terhindarkan. Syukur pak imam tidak terpengaruh dengan gaduhnya anak-anak itu. Rupanya ada satu jamaah yang merasa risih dengan kondisi tersebut. Dia bangkit, keluar dari shaf kemudian membentak anak–anak itu : ’ Diam... , kalau nggak mau diam nggak usah sholat, di luar saja !’’ Aku sempat kaget juga dengan teguran itu. Beberapa jamaah mengatur shaf agar tidak bolong setelah ditinggal olehnya. Suasana menjadi hening dan tentu menegangkan bagi anak-anak itu.
Suasana sholatpun kembali tenang pada rokaat ke tiga. Dalam hati akupun bersyukur suasana sholat Magrib itu kembali tenang. Justru aku tersentak ketika mengucapkan salam pertama. Tak satupun anak-anak yang tadi ikut berjamaah di belakangku tersisa di situ. Semua kabur rupanya.... Pantesan sepi, pikirku. Dan semua jamaah dewasa saling diam tanpa aku mengerti jalan pikirannya.
Sepanjang jalan sepulang jamaah aku merenung, adakah yang salah ? Dulu waktu kecil sepertinya aku mangalami hal yang sama. Atau bahkan lebih dari itu. Yang jelas seingatku dulu rasanya nggak afdhol kalau nggak ikut membaca Al Fatihah dengan nyaring yang kadang–kadang lebih nyaring dari imam. Atau merasa kurang ramai kalau sujud nggak sambil menggelitik kaki jamaah di depanku. Yang aku tahu bahwa sholat berjamaah itu mengasyikkan dan menyenangkan. Ramai ketemu teman-teman, rukuk sambil menoleh kanan kiri, atau sujud sambil mendengarkan bacaan sujud teman sebelahku yang juga belum hafal seluruhnya. Ahh ... dasar anak–anak.
Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun tentunya suasana diatas memang harus diluruskan. Barangkali caranya yang harus diperhalus. Wajar kalau anak–anak dengan usia dibawah 5 tahun masih belum faham tentang sholat yang baik. Diperlukan kesabaran yang luar biasa memang menghadapi mereka. Bahkan nasehat yang sama agar tertib kalau sholat tetap saja di perlukan setiap menjelang sholat .
Adalah hal yang sulit kalau kita yang dewasa berharap dengan satu kali nasehat mereka akan pakai seterusnya. Karena usia mereka memang usia bermain, dan barangkali waktu kecil kita juga melakukan hal yang sama.
Ada contoh yang indah dari Rasulullah SAW mengenai jamaah bersama anak–anak. Suatu saat saat Rasulullah menjadi imam tiba–tiba cucu beliau Umamah binti Zaenab menangis dan digendongnya sambil tetap menjalankan sholat tanpa terganggu dengan tangisan cucunya. Begitupun dengan para sahabat yang menjadi makmum. Ada kesejukan disana, si anak terpenuhi kebutuhan emosionalnya sementara Rasulullah SAW dan para sahabat yang sedang sholat tetap khusyu menghadap Rabb nya. Bahkan pernah juga cucu beliau naik ke punggung saat beliau sujud dan Rasulullah SAW sujud dengan cukup lama sehingga pada saat selesai sholat sahabat bertanya apakah yang terjadi ? Dengan sabar Nabi junjungan kita itu menjelaskan keadaan yang barusan terjadi. Dan itulah Allah menghendaki agar hal tersebut jadi tuntunan bagi kita umatnya. Semuanya diselesaikan setelah sholat, bukan pada saat sholat berlangsung.
Akupun ingat cerita beberapa warga yang mengetahui sejarah berdirinya musholla di lingkungan kami itu. Konon musholla itu didirikan untuk menampung anak-anak belajar ngaji dan sholat berjamaah setelah beberapa kali orang tua mereka mendapati anak- anaknya selalu dimarahi bahkan dibentak–bentak ketika ikut sholat di masjid. Akhirnya anak-anak itupun jadi takut ke masjid. Dan wargapun mulai membuat musholla untuk pembelajaran anak-anak mereka. Kalau masjid atau musholla sudah menjadi momok bagi anak–anak, rasannya tidak berlebihan kalau kita harus merasa ketakutan tentang hilangnya generasi muslim yang akan datang.
Adalah hal yang sangat sulit ketika kita berharap pada saat dewasa kelak mereka menjadi generasi yang cinta masjid dan sholat berjamaah kalau tidak dimulai dari kecil. Atau kita boleh merasa iri apabila di hiruk–pikuknya pasar masih banyak saudara–saudara kita yang bisa melaksanakan sholat dengn khusyu dikios kecilnya tanpa terganggu dengan lingkungan sekitarnya. Nasehat bagi mereka tetap harus dilakukan sebelum sholat dimulai atau ditegur setelah sholat selesai. Pada saat setelah kita membantu mengatur shaf mereka, maka serahkanlah urusan selanjutnya kepada "Yang menguasai dan yang bisa membolak-balikkan hati manusia". Karena mereka semua adalah anak-anak kita ......
masjono@telkom.co.id