Sumber [
eramuslim.com] Belanda adalah negara yang melarang khitan bagi anak perempuan. Dan sekarang, khitan atau sunat bagi anak laki-laki sedang menjadi perdebatan hangat di kalangan dokter di Negeri Kincir Angin itu.
Federasi dokter di Belanda (KNMG) meminta lembaga ombudsmen untuk anak-anak dan organisasi hak asasi manusia, membuat pernyataan tegas dan terbuka tentang khitan bagi anak laki-laki. KNMG cenderung menginginkan praktek khitan pada anak-anak laki-laki juga dilarang.
Perdebatan ini membuat komunitas Muslim dan Yahudi di Belanda ikut bereaksi. "Khitan merupakan bagian dari ajaran agama kami, yang akan kami pertahankan sampai kapanpun," kata Driss El Boujoufi dari masjid komunitas Muslim Maroko.
Pemuka agama Yahudi Rabbi Raphael Ever dari komunitas Yahudi Ortodoks juga mengatakan, "Tidak ada perubahan dalam hal praktek khitan."
Sebagian anggota KNMG keberayan dengan praktek khitan baik pada anak perempuan maupun anak laki-laki karena dianggap khitan sama dengan mutilasi. "Anda melakukan sesuatu tindakan permanen pada anak-anak dibawah umum, tanpa dia bisa memberikan persetujuan," Lode Wigersma, anggota KNMG berargumen.
"Lebih dari itu, prosedur khitan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara medis," sambungnya seraya mengklaim lima sampai 15 persen praktek khitan menimbulkan komplikasi di kemudian hari.
Tapi klaim itu dibantah oleh dokter Lex Klein yang bekerja di pusat khitan BCN. "Selama bertahun-tahun BCN beroperasi, kami sudah mengkhitan sekira 37.000 anak laki-laki dan tidak pernah ada satu pun kasus komplikasi," ujar Klein.
Meski menolak praktek khitan pada anak laki-laki, KNMG membantah bahwa mereka ingin melarang khitan. KNMG mengatakan, langkah pertama yang harus dilakukan seorang dokter adalah berusaha untuk mencegah para orang tua yang mengkhitankan anak-anak lelakinya.
Namun Yusuf Altuntas dari CMO--organisasi yang menjembatani komunitas Muslim dengan pemerintah--khawatir perdebatan ini akan berakhir pada kebijakan melarang khitan bagi anak-anak lelaki.
"Kalau KNMG ingin meningkatkan kesadaran masyarakat, seharusnya mereka tidak perlu bicara pada pemerintah, parlemen atau organisasi-organisasi hak asasi, tapi berdialoglah dengan kami, komunitas Muslim dan Yahudi," tukas Altuntas. (kw/RNW)