Sumber[
ramuslim.com] Isu agama dalam politik ternyata menjadi isu serius di negara Amerika Serikat, yang selama ini terlihat begitu sekuler. Pertarungan politik yang terjadi di negeri adidaya itu, nyatanya bukan semata-semata pertarungan dua kubu antara Partai Demokrat dan Partai Republik. Lebih dari itu, ada pertarungan yang tak kasat mata berupa pertarungan antar kelompok aliran agama Kristen di AS, untuk saling berebut pengaruh agar bisa "mendominasi" umat manusia, bahkan sampai ke seluruh dunia, sebagai bagian dari dogma agama mereka.
Paul Rosenberg, pengamat politik dan editor media alternatif dwi-mingguan Random Lenghts News, mengupas pertarungan itu dalam tulisannya bertajuk "Menguak Fundametalisme Agama di AS".
Rosenberg mengatakan, mencuatnya nama-nama politisi dari Partai Republik belakangan ini, memicu opini publik yang mengaitkan keyakinan agama yang dianut para politisi itu dengan ambisi politik mereka. Kemenangan anggota majelis rendah Michele Bachman dalam jajak pendapat di Ames, Iowa dan keberhasilan Rick Perri untuk mengikuti proses pemilihan sebagai kandidat presiden dari Partai Republik, menyedot perhatian publik di AS karena kedua politisi Partai Republik itu dikenal sebagai sosok-sosok yang sangat meyakini konsep "dominionism" dalam ajaran Kristen, sebuah konsep teologi yang ekstrim dan radikal.
Lisa Miller, seorang blogger di
Washington Post dalam tulisan berjudul "Beware False Prophets who Fear Evangelicals” mengakui adanya kekhawatiran dunia melihat tokoh-tokoh yang dinominasikan Partai Republik. Ia juga menyebutkan adanya kekhawatiran yang sebenarnya sering terjadi, di kalangan kaum liberal di AS tentang sepak terjang kaum Kristen Evangelis. Sebagian kaum liberal mencurigai bahwa keyakinan kaum Evangelis terhadap Yesus yang sangat kuat, membuat kaum ini berambisi untuk mengambil alih kekuasaan dunia.
Dominionism Bukan Mitos
Meski masih menjadi perdebatan, "dominionism" adalah istilah yang umum dilekatkan pada kaum Kristiani konservatif yang aktif dalam perpolitikan--umumnya di AS--dan mereka berupaya mencari pengaruh atau mengendalikan pemerintahan sipil yang sekuler lewat politik. Tujuan kelompok ini adalah menciptakan sebuah negara yang dikendalikan oleh kaum Kristiani, atau sebuah negara yang dikendalikan oleh kaum Kristiani konservatif yang memahami ajaran-ajaran dalam Alkitab.
Menurut Rosenberg, ideologi "Dominionism" di kalangan Evangelis bukan sekedar mitos. Ia mengutip pernyataan tokoh Kristen Evangelis radikal Pat Robertson dalam pidatonya tahun 1984.
Robertson mengatakan, "Apa yang dilakukan kami (penganut Evangelis) semua? Kami bersiap-siap untuk berkuasa! Kami bersiap-siap untuk berkuasa! Semuanya akan menjadi milik kita--saya bicara tentang 'semuanya'. Semua media komunikasi, berita, televisi, radio, bioskop, seni, pemerintahan, keuangan--semuanya akan jadi milik kita! Tuhan akan memberikan semua pada umatnya. Kita harus mempersiapkan diri untuk menguasai dan mengendalikan (dunia) bersama Yesus Kristus."
Rosenberg juga mengutip sebuah buku berjudul "Dominion!" yang terbit pada tahun 2008. Di bab ketiga buku yang ditulis oleh tokoh New Apostolic Reformation (NAR), C. Peter Wagner itu, dikupas tentang "Dominion Theology". Peter sempat berkelit bahwa itu cuma bagian dari kisah-kisah yang terdapat dalam ajaran Kristen, dan tidak ada kaitannya dengan ambisi kaum Kristiani Evangelis untuk "menguasai dunia".
Para dominionis sudah menyebarluaskan ide-ide keagamaannya sejak puluhan tahun yang lalu sebelum Robertson menyampaikan pidatonya pada tahun 1984. Bukti yang paling penting adalah keberadaan sebuah sekte yang kecil tapi sangat berpengaruh, dikenal sebagai sekte Christian Reconstructionism yang didirikan oleh R.J. Rushdoony di era 1960-an. Sekte mengkampanyekan untuk mengganti semua hukum yang berlaku di AS dengan Kitab Perjanjian Lama.
Penulis Michelle Goldberg dalam artikelnya di Daily Beast menyebut Rushdoony sebagai tokoh yang meyakini bahwa AS adalah negara Kristen yang dibangun atas dasar prinsip-prinsip dalam Alkitab.
Bukti lainnya bahwa ideologi "Dominionism" sudah lama ada di AS adalah gerakan Latter Rain di akhir tahun 1940-an, gerakan yang pada masa itu justru ditentang oleh kalangan Evangelis ortodok karena dianggap menyimpang dari ajaran Alkitab.
Latter Rain juga dikecam oleh kalangan gereja Panteskosta Amerika, Assemblies of God, pada tahun 1949 bukan semata-mata karena ideologi dominionism-nya, tapi pada keyakinan dan praktek-praktek keagamaan yang dilakukan oleh gerakan itu.
Lucunya, sekarang ini, makin banyak jamaah Assemblies of God yang mendukung New Apostolic Reformation (NAR) yang jelas-jelas perkumpulan para dominionis. Salah satu tokohnya adalah Sarah Palin, salah seorang politisi dari Partai Republik. Kelompok NAR mengenalkan apa yang disebut "Seven Mountains Mandate", yang mengajarkan bahwa Kristen harus menguasai dunia dengan cara menginfiltrasi dan menguasai tujuh bidang yaitu: bisnis, pemerintahan, media massa, seni dan hiburan, pendidikan, keluarga dan agama.
Chip Barlet, seorang peneliti dari Political Research Associates membagi kaum dominionis menjadi dua kelompok, yang "garis keras" dan yang "lunak". Kelompok "soft dominionist", menurut Barlet, adalah kaum Kristiani nasionalis. Kelompok ini meyakini bahwa Alkitab mengakarkan bahwa perbuatan dosa dan amoral akan menimbulkan anarki dan kekacauan. Kelompok ini selalu khawatir kebesaran negara AS--yang mereka yakini sebagai negara pilihan Tuhan--akan dinodai oleh kaum sekular liberal humanis, feminis dan para homoseks.
Sedangkan kelompok dominionis garis keras, kata Barlet, selain memiliki keyakinan dan kekhawatiran yang sama dengan kelompok "lunak", mereka lebih ekstrim karena juga berambisi untuk menjadikan AS sebagai negara teokrasi Kristen. Kelompok garis keras beranggapan bahwa Konstitusi dan Deklarasi Hak Asasi yang berlaku di AS cuma tambahan dari kitab hukum yang berlaku yaitu Kitab Perjanjian Lama.
Teokrasi, Ancaman bagi AS di Masa Kini ?
Rosenberg menulis, salah satu alasan mengapa AS memilih menjadi negara republik yang sekular seperti sekarang ini, karena belajar dari pengalaman Eropa yang selama hampir 200 tahun mengalami sejumlah perang dan konflik berdarah berlatar belakang agama. Sebut saja Perang "Petani" di Jerman pada tahun 1524-1526, dengan korban jiwa sebanyak 100.000 orang, berlnjut dengan Kesepakatan Westphalia tahun 1648 Treaty of Westphalia, yang mengakhiri Perang 30 Tahun di daratan Eropa serta Perang Spanyol pada 1701-1714.
Kalangan liberal menilai anggapan bahwa negara AS adalah negara Kristen yang dibangun berdasarkan Alkitab, cuma sebagai mitos lama. Mayoritas penduduk AS pada masa itu memang umat Kristiani, tapi para intelektual yang berkontribusi sebagai pendiri negara AS lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran "pencerahan". Mereka memisahkan negara dengan agama, kata Tuhan sama sekali tidak disebut-sebut dalam Konstitusi. Hukum AS yang berlaku sekarang lebih banyak dipengaruhi oleh sistem hukum negara Inggris, bukan Alkitab.
Tapi faktanya, hingga sekarang kelompok-kelompok fanatik Kristen masih "hidup" dan terus menyebarkan pemikiran negara teokrasinya dan menjadi ancaman tersembunyi di AS. Sebagai contoh, dogma "Seven Mountains" tidak menyertakan ilmu pengetahuan. Itu bukan berarti kalangan dominionis tidak menganggap penting ilmu pengetahuan, tapi mereka beranggapan tidak perlu menguasai apa yang bisa dengan mudah redam, mereka abaikan dan mereka bantah.
Michele Bachman, Rick Perry, Ron Paul dan kelompok Tea Party adalah figur-figur yang diasosiasikan sebagai tokoh-tokoh dominionis di AS. Sebuah hasil studi sosiologi bertajuk "Cultures of the Tea Party" yang dirilis belum lama ini, mengklaim menemukan fakta bahwa para pendukung Tea Party ditandai dengan empat hal: "otoritarianisme, ketidakamanan ontologis, libertarianisme, dan nativisme".
Survei yang dilakukan Pew Research terkait tipologi politik AS tahun ini menunjukkan bahwa kelompok religius dan ekonomi konservatif telah melebur ke dalam satu kelompok sejak tahun 2006. Apa dampak dari peleburan itu dalam jangka panjang, memang masih belum jelas. Tapi fakta itu merupakan pesan yang kuat makin menguatnya pandangan bahwa pemerintah telah gagal menyelesaikan banyak persoalan, termasuk gagal memulihkan perekonomian AS. (kw/aljz)