HOMS (Arrahmah.com) - Ia hanya
anak Muslim berusia 11 tahun, dengan izin Allah, selamat dari
pembataian. Ia menggambarkan bagaimana ia melumuri dirinya sendiri
dengan darah saudaranya yang dibunuh dan berpura-pura mati karena milisi
loyalis Bashar Assad masuk ke rumahnya dan membunuh enam angota
keluarganya pada saat pembantaian di Al-Haulah sedang berlangsung pada
hari Jum’at (25/5/2012) di provinsi Homs, Suriah.
Bercerita kepada The Guardian, anak laki-laki yang baru
beranjak remaja itu mengatakan bahwa pasukan rezim Assad tiba di distrik
tempatnya tinggal sekitar pukul 3:00 waktu setempat pada hari Sabtu
(26/5),
beberapa jam setelah pemboman dan pembantaian dilakukan di
Al-Haulah.
"Mereka datang dengan kendaraan lapis baja dan ada beberapa tank,"
kata anak itu. "Mereka menembak lima peluru melalui pintu rumah kami.
Mereka mengatakan, mereka ingin Arif (pamannya) dan Syawqi (kakaknya),
ayahku dan ibuku. Kemudian mereka menanyakan tentang pamanku, Abu
Haidar. Mereka juga mengetahui namanya."
Dengan menggigil ketakutan, anak itu berdiri dibalik pintu masuk
keluarganya, pada saat itu, pasukan Assad menembaki semua anggota
keluarganya di depan matanya.
"Ibuku berteriak pada mereka," ujar anak itu.
"Dia bertanya: 'Apa yang kalian inginkan dari suami dan anakku?',
seorang pria botak berjanggut menembaknya dengan sebuah senjata mesin
dari leher. Kemudian mereka membunuh adik perempuanku, Rasha, dengan
senjata yang sama. Dia berusia lima tahun. Kemudian mereka menembak
kakakku Nadir di kepala dan di punggungnya. Aku melihat nyawanya
meninggalkan jasadnya di depanku," ungkapnya sedih.
Ketika semua anggota keluarganya telah dibunuh, tentara loyalis Assad
itu mengarahkan moncong senjatanya ke arahnya. Ketika itu, ia
berinisiatif untuk berpura-pura mati dan mengambil darah saudaranya yang
berceceran kemudian melumurinya ke tubuhnya dan berpura-pura mati.
"Mereka menembakku, tetapi pelurunya melewatiku dan aku tidak
tertembak. Aku sangat gemetar, aku pikir mereka akan memperhatikanku.
Aku mengolesi darah ke wajahku untuk membuat mereka berpikir bahwa aku
telah mati," katanya.
Ternyata trik anak itu berhasil, dengan izin Allah, mereka yakin
telah menyelesaikan misi pembunuhan mereka, kemudian mereka berpindah ke
rumah di daerah lain untuk memburu Muslim lainnya.
"Rupanya mereka yakin pekerjaan mereka telah selesai, pria-pria
bersenjata itu pindah ke daerah lain, ke rumah dimana mereka akan
melanjutkan menjarah harta milik keluarga (di rumah itu yang dijarah),"
katanya. "Mereka mencuri tiga televisi, sebuah Vacuum-cleaner dan sebuah
komputer," tambahnya. "Dan kemudian mereka bersiap-siap pergi."
Dalam wawancara lain, ia bercerita bahwa kedua pamannya dan saudara
laki-lakinya ditangkap dan dibunuh. "Mereka menangkap dan membawa
mereka," katanya. Saat ditanya bagiamana ia tahu bahwa mereka telah
terbunuh, ia menjawab, "hari berikutnya aku melihat mereka tewas di
saluran TV pemerintah Suriah." "Pamanku bercerita bahwa sekelompok pria
bersenjata membunuh anaknya."
The Guardian menghubungi anak laki-laki ini melalui seorang
tokoh di kota yang merupakan seorang anggota Dewan Revolusi Suriah yang
sekarang sedang merawatnya. The Guardian tidak diizinkan untuk memaparkan profil anak ini dan tidak menyebutkan namanya untuk tujuan keamanan.
Anak itu mengatakan bahwa dia menanti hingga para anggota lapis baja
itu bergerak menjauh dari jalan rumahnya, kemudian ia berlari ke rumah
pamannya yang letaknya tak jauh dari kediamannya, untuk bersembunyi. Ia
mengatakan, milisi yang sama mengetuk pintu rumah pamannya beberapa
menit kemudian, meminta pamannya apakah dia tahu siapa yang tinggal di
dalam rumahnya, para anggota lapis baja itu hanya berteriak-teriak
mengamuk.
"Ketika mereka pergi, mereka mengatakan bahwa mereka ingin membakar
rumah, aku panik dan kemudian pergi ke rumah pamanku tanpa alas kaki."
"Mereka tidak tahu dia (paman) adalah keluargaku dan ketika mereka
berbicara kepadanya, mereka menjelaskan ke-enam orang yang mati di
rumahku. Termasuk aku. Mereka pikir aku telah mati."
Selama 15 menit percakapan, anak itu tetap diam hingga ia diminta
untuk bercerita bagaimana dia tahu para pria bersenjata itu adalah
milisi pro-rezim Assad, yang dikenal sebagai milisi Syi'ah Shabihah.
Pasukan yang sering dituduh banyak melakukan pembantaian di Al-Hulah,
dengan memasuki rumah-rumah warga Muslim dan membantai anggota keluarga
di dalamnya. Pada pembantaian di Al-Hulah terakhir, lebih dari 50 dari
lebih dari 100 korban adalah anak-anak, bahkan dari usia batita dan
balita.
Anak itu menjawab bahwa mengapa ia yakin pasukan bersenjata itu
adalah milisi pro-Assad, "Mereka keluar dari tank dan mereka memiliki
senjata dan pisau," dia mengulangi kata-kata itu. "11 dari mereka
berpakaian militer, dan beberapa dari mereka berpakaian biasa, rambut
dicukur dan berjanggut (milisi Syi'ah Shabihah)."
"Mengapa kalian bertanya padaku siapa mereka? Aku tahu siapa mereka.
Kami semua tahu! Mereka adalah para tentara rezim dan orang-orang yang
berperang dengan mereka. Itu adalah benar," tegasnya.
Mengingat Barat (awalnya) dan rezim Assad membantah bahwa pasukan
militer Assad dan milisi pro-Assad yang melakukan pembantaian selama
ini, dan menyalahkan terhadap kelompok 'pemberontak' atau 'teroris'.
Kesaksian anak ini adalah salah satu dari banyak kesaksian bahwa yang
melakukan pembantaian adalah pasukan Assad dan milisi-milisi Syi'ah
pro-Assad.
Pesannya kepada masyarakat dunia
"Aku meminta kepada masyarakat internasional untuk menghentikan pembunuhan di Suriah dan di Al-Haulah,
Siapa saja yang mendengarku, harus tahu bahwa kami dibunuhi, kami dibunuh di rumah-rumah kami,
Masyarakat internasional duduk diam, hanya bicara dan tidak melakukan apapun,
Orang-orang harus berperang untuk kami, lakukan apa yang mereka katakan, dan lindungi kami,
Aku meninggalkan rumah dalam keadaan bergetar (ketakutan),
Aku melangkahi jasad adikku. Aku lihat kakak dan ibuku tewas di tempat tidur,
Aku melihat mereka semua..."
(siraaj/arrahmah.com)