JAKARTA (salam-online.com): Khamis petang
(19/7/2012) Tim rukyatul-hilal di Cakung dan di Cilincing yang biasa
dari tahun ke tahun memantau hilal dikhabarkan sudah melihat hilal. Di
Cakung hilal terlihat sekitar 3,5 derajat dan di Cilincing dengan posisi
4 derajat.
Sesungguhnya di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
manakala sudah ada seseorang yang berhasil melihat hilal, Nabi tak
bertanya berapa derajatnya. Sementara pemerintah RI melalui Kementerian
Agama menentukan harus di atas 2 derajat.
Jika diyakini hilal dalam posisi di bawah 2 derajat yang berarti itu
tak diakui pemerintah (karena kurang dari 2 derajat tak terlihat),
kenapa harus repot-repot melihat hilal dan bersidang itsbat?
Dan, ternyata, alhamdulillah, di Cakung, Jakarta Timur, dan
Cilincing, Jakarta Utara, tim rukyat di sana sudah berhasil melihat
hilal masing-masing dengan posisi 3,5 dan 4 derajat. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, tatkala sudah ada yang menyatakan melihat
hilal, langsung memerintahkan besoknya untuk melaksanakan shaum Ramadhan
atau mengakhiri Ramadhan dan besoknya ber-idul fitri (1 Syawal).
Di Cakung dan Cilincing, mereka yang melihat hilal sudah disumpah
oleh Kementerian Agama setempat, dan hasilnya dikirim ke Kementerian
Agama yang sedang melakukan sidang itsbat. Jika pemerintah (Kementerian
Agama) melalui sidang itsbat ini tak mengakui kesaksian Tim Cakung dan
Cilincing, maka itu berarti kembali mengulangi kefatalan yang sama saat
penentuan 1 Syawal (idul fitri) tahun lalu, dimana pemerintah
(Kementerian Agama dan MUI) dalam sidang itsbat menolak kesaksian Tim
Cakung yang sudah melihat hilal.......klik tajuk / link
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat seseorang datang
kepada beliau, melapor sudah melihat hilal, tak pernah beliau menolak.
Bahkan Rasulullah, setelah mengambil sumpah atas dasar kesaksian orang
yang bersangkutan, langsung memerintahkan kaum Muslimin kala itu untuk
melaksanakan shaum esoknya atau berbuka dan menetapkan 1 Syawal (idul
fitri) keesokan harinya.
Dengan demikian, karena sudah ada pihak yang melihat hilal, maka
esok, Jumat (20 Juli 2012) adalah awal Ramadhan, ibadah shaum dimulai.
Dalam sidang itsbat yang digelar Kemenag Pusat, wakil dari Front
Pembela Islam (FPI) dan ormas Islam An-Najah melaporkan Tim Cakung
Jakarta Timur yang telah berhasil melihat hilal dengan posisi 3,5 – 4
derajat dan terlihat selama 4 menit.
Dalam tuntunan Rasulullah, siapapun yang melihat hilal, maka setelah
disumpah kesaksiannya, yang lain tinggal mengikuti. Jadi, bukan banyak
mana yang melihat dan yang tidak, misalnya, lalu diputuskan mengukuti
yang banyak yang tak melihat, bukan begitu caranya, bukan seperti sistem
demokrasi yang memilih pemimpin berdasarkan suara terbanyak. Bukan.
Jangan pula lantaran demi persatuan, demi persatuan, kemudian mereka
yang berbeda dengan keputusan Menag di sidang itsbat, seakan tidak
menjunjung persatuan. Jangan sampai, karena demi persatuan, lantas
mengenyampingkan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Seorang tokoh MUI daerah prihatin dengan pola sidang itsbat yang
digelar Kemenag Kamis malam (19/7/2012). Menurutnya, tak sama awal
Ramadhan atau 1 Syawal bukan berarti simbol perbedaan. Dalam kasus ini
penduduk Madinah pernah tak sama dengan Mu’awiyah di Syam saat menjadi
khalifah. Para sahabat yang ada di Madinah ditanya, “Alam taktafii
biru’yati Mu’awiyah (Apakah rukyah Mu’awiyah tak cukup?”). Mereka
bilang, “Tidak.” JJadi, itu artinya, tak ada kewajiban ikut pemerintah
dalam hal ini.
“Bayangkan, itu seorang khalifah, dan Mu’awiyah sangat faqih,
bukannya pemerintah yang tak jelas, penuh korup,” ujarnya. “Apalagi, ini
(hilal) sudah ada yang lihat. Berdosa saja pemerintah mengabaikan hal
itu,” imbuhnya.
Dalam sidang itsbat ini, jelas, memang tampak janggal. Janggalnya, 2
ormas Islam yang melaporkan Tim Cakung dan Cilincing telah melihat
hilal, dengan posisi 3,5 dan 4 derajat selama kurang lebih 4 menit,
sama sekali tak disinggung atau direspon oleh Menteri Agama.
Menteri Agama menutup sidang dan menetapkan awal Ramadhan jatuh pada
hari Sabtu tanggal 21 Juli 2012. Sama sekali mengabaikan Tim yang sudah
melihat hilal.
Malah wakil dari NU menyepelekan mereka yang sudah melihat hilal dan
mempertanyakan kenapa ada dari hakim pengadilan agama setempat yang
berani mengambil sumpah.
Bagaimana ini bisa terjadi di dalam sidang itsbat yang terhormat itu?
Nabi saja, meskipun yang mengaku melihat hilal adalah seorang badui,
tapi dengan bijak dan seksama mendengar dan merespon, lalu menerima dan
memutuskan untuk shaum atau beridul fitri esoknya.
Karenanya, jika pemerintah (Kementerian Agama) menolak kesaksian Tim
yang sudah jelas-jelas melihat hilal–dan disumpah pula oleh Hakim
Pengadilan Agama Kementerian Agama setempat–apakah artinya Kementerian
Agama dan sidang itsbat yang dipimpin oleh Menteri Agama itu lebih hebat
dari Nabi?
(salam-online.com)