Sumber [
eramuslim.com] Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Selawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi terakhir beserta keluarga dan para sahabatnya.
Makalah ini merupakan kumpulan beberapa kesalahan yang tersebar di
tengah-tengah kaum muslimin. Penulis harap makalah ini akan menjadi
peringatan bagi yang lupa dan lalai, serta nasihat bagi kalangan awam.
Penulis sengaja menyusun makalah ini dengan ringkas. Kita memohon kepada
Allah ta’ala agar menjadikan tulisan ini bermanfaat. Maha suci Allah,
sebaik-baik dan seagung-agung Dzat yang dimintai dan ditujukan harapan.
Berikut ini beberapa kesalahan tersebut:
[1]. Tidak mengerjakan shalat, kecuali hanya di Bulan Ramadhan
Ini merupakan kesalahan paling fatal dan dosa paling buruk.
Barangsiapa meninggalkan shalat setelah bulan Ramadhan, berarti telah
menghancurkan bangunannya dan menguraikan benang yang sudah dipintal
dengan kuat. Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا
Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan
benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.
(Qs. an-Nahl: 92)
Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.
(Batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim)
Beliau
shallallahu ‘alahi wa sallam juga bersabda:
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.
Perjanjian antara kami (kaum muslimin) dan mereka (orang-orang kafir)
adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya, ia telah kafir. (HR.
at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Namun, sungguh mengherankan, ada yang berpuasa, tetapi tidak shalat.
Padahal, orang yang tidak shalat tidak mendapat kewajiban berpuasa.
Mengapa? Ini karena dia kafir, sebagaimana dalam hadits di atas, juga
sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa syarat
(diterimanya-ed) seluruh ibadah adalah Islam.
[2]. Lalai dari tujuan utama puasa dan hikmah-hikmahnya......klik tajuk/ link
Puasa memiliki maksud dan tujuan, di antaranya adalah apa yang disebutkan Allah ta’ala dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
(Qs. al-Baqarah: 183)
Tujuan puasa adalah ketakwaan, bukan hanya sekedar menahan diri dari
makanan, minuman dan nafsu, karena Allah ta’ala tidak butuh puasa
seperti ini, sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.
Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan keji dan dusta, serta
melakukannya, Allah tidak butuh dengan puasanya. (HR. al-Bukhari)
Bahkan puasa yang benar dapat mencegah perbuatan maksiat, sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ.
Puasa bagaikan perisai, janganlah berkata keji dan kotor dengan berbuat jahil… (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Terkadang Anda melihat sebagian orang berpuasa, tetapi tidak
meninggalkan perbuatan haram, seperti kedzaliman, permusuhan, hasad,
dengki, ghibah dan namimah (menggunjing orang dan mengadu domba), serta
perkataan jorok dan kotor.
Di antara tujuan puasa:
a. Meraih pahala yang besar dan memperoleh ganjaran yang banyak,
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits qudsi, bahwa Allah berfirman:
الصِّيَامُ لِي، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ.
Puasa itu untuk-Ku. Aku yang akan memberikannya pahala. (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Ini menunjukkan besarnya pemberian, karena Allah yang Maha Mulia,
apabila menyatakan “Aku yang memberikannya secara langsung”,
menunjukkan besarnya pemberian.
b. Penghapus dosa. Sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala,
niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. (HR. Muttafaqun
‘alaih)
c. Membiasakan taat kepada perintah Allah ta’ala, dan perintah Rasul-Nya
shallallahu ‘alahi wa sallam dan berlatih meninggalkan hal-hal yang disukai untuk meraih ridha Allah ta’ala.
Hikmah puasa:
1. Merasakan sakitnya lapar dan haus. Dengan ini, kita menjadi tidak melupakan fakir miskin.
2. Mempersempit ruang gerak setan, karena setan bergerak pada aliran darah manusia, sebagaimana yang pernah disampaikan Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam
bahwa apabila seorang hamba berpuasa, urat-uratnya akan mempersempit
gerak setan sehingga pengaruh dan bisikannya menjadi lemah.
Laa ilaaha illallah, betapa banyak hikmah dan rahasia di balik puasa
yang kita lalaikan. Segala puji bagi Allah yang mensyariatkannya sebagai
rahmat bagi hamba-hambanya, sebagai perbuatan baik bagi mereka, dan
sebagai pelindung dari keburukan.
[3]. Memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah,
dengan berbagai amalan seperti sedekah, shalat, mengaji dan berbagai
macam ketaatan lainnya di bulan Ramadhan, tetapi dia jauh dari semua itu
pada selain bulan Ramadhan.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Qs. al-Baqarah: 21)
Dan sebagaimana Nabi Isa
‘alahi sallam berkata:
وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
Dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup. (Qs. Maryam: 31)
Dan Allah berfirman:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (Qs. al-Hijr: 99)
Sebagian salaf berkata: Sejelek-jelek kaum adalah yang tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan.
Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
أَحَبُّ اْلأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ.
Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus walaupun sedikit. (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Sebagian orang antusias dalam ketaatan pada permulaan bulan, kemudian melemah dipertengahan atau akhir bulan.
[4]. Berpaling dari mempelajari hukum-hukum puasa, adab,
syarat dan pembatal-pembatalnya, dengan tidak menghadiri majlis-majlis
ta’lim, tidak bertanya tentang masalah puasa. Dalam hal ini, dia
berpuasa dalam keadaan jahil (bodoh-ed), atau mungkin melakukan
perbuatan yang dapat membatalkan puasanya, sedangkan dia tidak
mengetahuinya.
Allah ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui. (Qs. an-Nahl: 43)
Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
Barangsiapa melakukan amalan yang tidak didasari perintah kami, amalan tersebut tertolak. (HR. Muslim)
Dan Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
Menuntut ilmu adalah kewajban bagi setiap muslim. (HR. al-Baihaqi)
[5]. Menyia-nyiakan waktu puasa dan malam harinya dengan
sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan terkadang dengan sesuatu yang
haram atau membahayakan.
Sebagian orang banyak tidur di siang hari dan tidaklah bangun kecuali
menjelang berbuka puasa. Padahal, barangsiapa banyak tidur, dia
terluput dari berbagai macam kebaikan. Sebagian lainnya, menghabiskan
waktunya dengan menonton sinetron dan telenovela yang di dalamnya banyak
wanita yang bertabarruj serta pemandangan yang menyelisihi adab dan
syariat. Yang lainnya lagi, tidak meninggalkan berbagai pertandingan dan
permainan bahkan mungkin saling bertaruhan sehingga termasuk judi yang
diharamkan. Ada pula yang begadang dengan bermain kartu atau ngobrol
yang tidak bermanfaat sehingga terjatuh pada sesuatu yang haram seperti
ucapan kotor, ghibah dan namimah. Ada juga yang begadang dengan
bernyanyi mempergunakan alat musik di bulan Qur’an! Yang lainnya, ada
yang mondar-mandir di mall-mall atau jalanan. Di sisi lain, tidak
sedikit ditemui banyak wanita tidur sampai siang hari kemudian bangun
mengerjakan tugas rumah dan dapur sampai maghrib kemudian setelah
berbuka puasa sibuk mendatangi dan duduk-duduk di mall-mall sampai larut
malam.
Apa yang mereka ambil dari kebaikan bulan
Ramadhan?
Apa yang mereka peroleh dari waktu-waktunya?
Di mana mereka dari petunjuk Rasulullah di bulan yang penuh berkah ini?
Padahal, beliau
shallallahu ‘alahi wa sallam
bersungguh-sungguh beribadah di bulan ini, melebihi kesungguhan beliau
di bulan-bulan lainnya. Malaikat Jibril ‘alahi sallam memuroja’ahkan
al-Qur`an kepada beliau setiap malam. Beliau beri’tikaf di masjid dan
berpaling dari urusan dunia pada sepuluh hari terakhir dan sangat
dermawan di bulan ini, serta menguatkan kaum muslimin untuk mengasihi
para janda dan anak yatim, menyambung silaturrahim, memuliakan tetangga
dan berbagai macam ketaatan lainnya.
Demikianlah seorang muslim hendaknya meneladani Rasulnya
shallallahu ‘alahi wa sallam,
sehingga memperbanyak membaca al-Qur’an, mentadabburi maknanya dan
membaca tafsirnya, karena tidaklah cukup seorang yang telah baligh dan
mukallaf itu hanya sekadar membaca tanpa mengetahui maknanya.
Antusiaslah dalam mengikuti pelajaran dan majlis al-Qur’an dan
al-Hadits! Dengarkanlah kaset yang bermanfaat! Bacalah kitab-kitab fiqih
dan hadits! Bersungguh-sungguhlah dalam amal shalih, kebaikan dan
ketakwaan! Ini bukan hanya sekadar di bulan Ramadhan. Akan tetapi, di
bulan Ramadhan ini hendaknya seorang mukmin memperbanyak amalannya.
[6]. Memperbanyak makanan dan minuman serta berlebih-lebihan
dengan beraneka ragam jenis makanan yang dapat menyebabkan seseorang
menjadi kurang baik pencernaannya sehingga merasa berat untuk beribadah
dan malas shalat dan membaca Al-Qur’an.
Ada yang mengatakan bahwa barangsiapa makan, minum dan tidurnya banyak, dia luput dari berbagai macam kebaikan. Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
مَا مَلأَ ابْنُ آدَمَ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسَبِ ابْنِ آدَمَ
لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ فَاعِلاً فَثُلُثُ
لِطَعَامِهِ وَثُلُثُ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ.
Tidak ada tempat paling buruk yang dipenuhi isinya oleh manusia
kecuali perutnya, karena sebenarnya cukup baginya beberapa suapan untuk
menegakkan punggungnya. Kalaupun dia ingin makan, hendaknya ia atur
dengan cara sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan
sepertiga lagi untuk nafasnya. (HR. Ahmad, an-Nasa`i dan at-Tirmidzi)
[Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam
Silsilah Ash Shahihah no. 2265]
Sebagian salaf berkata, “Allah menggabungkan seluruh kesehatan pada separuh ayat yaitu firman Allah ta’ala:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا
Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. (Qs. Al-A’raf: 31)
Barangsiapa berlebih-lebihan dalam makan dan minum, dia telah lalai
dari salah satu hikmah puasa yaitu menghindarkan tubuh dari pengaruh
makanan dan minuman yang bisa memberatkan tubuh.
[7]. Meng-awalkan waktu sahur dan meng-akhirkan berbuka puasa.
Ini menyelisihi apa yang diajarkan Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam, yang beliau ini selalu mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka. Beliau
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفُطُوْرُ.
Manusia senantiasa dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka. (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Beliau
shallallahu ‘alahi wa sallam mengkabarkan bahwa
mengakhirkan berbuka adalah perbuatan Yahudi. Ketika menyemangati kaum
muslimin untuk menyegerakan berbuka, beliau
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ الْيَهُوْدَ يُؤَخِّرُوْنَ.
Sesungguhnya orang-orang Yahudi selalu mengakhirkan (berbuka puasa).
(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih)
Adapun mengakhirkan sahur adalah sunnah, sebagaimana dalam hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, (beliau) berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ
قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ . قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ اْلأَذَانِ
وَالسَّحُوْرِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيَةً.
Kami sahur bersama Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,
kemudian beliau bangkit menuju shalat, aku bertanya, ‘Berapa jarak waktu
antara adzan dan sahur?’ Dia menjawab, ‘Kira-kira lima puluh ayat.’
(HR. al-Bukhari)
Ada sebagian orang yang meninggalkan sahur dan makan ditengah malam.
Hal ini sesungguhnya tidak sesuai dengan sunnah. Dari Abi Said al-Khudri
radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
السُّحُورُ كُلُّهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ
أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ
يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ.
Sahur itu penuh dengan barakah. Maka, janganlah kalian
meninggalkannya walaupun hanya dengan seteguk air, (karena) sesungguhnya
Allah dan para malaikatnya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.
(HR. Ahmad dengan sanad hasan)
[8]. Berpaling dari Memahami dan Mentadabburi Al-Qur’an.
Kebanyakan kaum muslimin membaca al-Qur’an dengan tidak memahami apa
yang mereka baca. Bahkan, ketika terlintas hukum-hukum syar’iyah,
dalil-dalil Qur’aniyyah, nasehat-nasehat yang agung dan
perumpamaan-perumpamaan yang jelas, dia tidak mengetahui apa yang
melintasinya. Dia tidak pula mengetahui makna kitab Allah yang turun
kepadanya. Allah ta’ala berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar
mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat
mendapat petunjuk. (Qs. Shad: 29)
Allah ta’ala mencela orang-orang yang berpaling dari mentadabburi al-Qur’an dalam firman-Nya:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka, apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci? (Qs. Muhammad: 24)
Allah ta’ala berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Apakah mereka tidak menghayati Al-Qur’an? Seandainya ( Al-Qur’an) itu
bukan dari sisi Allah, pastilah mereka mendapat banyak hal yang
bertentangan di dalamnya. (Qs. an-Nisa’: 82)
Allah ta’ala mengabarkan bahwasanya ini merupakan sifat kebanyakan orang Yahudi, Allah ta’ala berfirman:
وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلَّا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui al-Kitab
(Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.
(Qs. al-Baqarah: 78)
Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Maksud firman-Nya ( لا
يعلمون الكتاب ) adalah tidak mengetahui apa-apa yang ada di dalam kitab
yang diturunkan oleh Allah, dan tidak mengetahui apa-apa yang Allah
tetapkan dari batasan, hukum dan kewajiban seperti kondisi para
binatang.”
Abu Abdirrahman as-Sulami berkata, “Orang-orang yang membacakan
Al-Qur’an kepada kami telah memberitakan bahwasanya apabila mereka
mempelajari sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkannya sampai mengetahui
kandungan ilmu lalu mengamalkannya”. Beliau berkata, “Kami mempelajari
al-Qur’an, ilmu dan mengamalkannya.”
[9]. Kebanyakan orang tua melalaikan anak-anaknya.
Mereka tidak menganjurkan anak-anaknya berpuasa dengan berdalih
mereka masih kecil, masih belum mampu berpuasa. Perbuatan ini
menyelisihi salaf as-shalih dari kalangan para sahabat dan setelahnya.
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ar-Rabi’ binti Mu’awidz
berkata:
فَكُنَّا نَصُوْمُهُ بَعْدُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ
لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى
الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ، حَتَّى يَكُوْنَ عِنْدَ اْلإِفْطَارِ.
Kami berpuasa dan memerintahkan anak-anak kecil kami berpuasa. Kami
membuatkan mereka mainan dari bulu. Maka, apabila mereka menangis karena
lapar, kami berikan mainan itu kepadanya, sampai tiba waktu berbuka.
Dalam riwayat Muslim:
فَإِذَا سَأَلُوْا الطَّعَامَ أَعْطَيْنَاهُمُ اللُّعْبَةَ تُلْهِيْهِمْ حَتَّى يُتِمُّوْا صَوْمَهُمْ.
Apabila mereka meminta makan, kami berikan mainan yang dapat menyibukkannya sehingga mereka dapat menyempurnakan puasanya.
Maksudnya: Mereka membiasakan anak-anaknya berpuasa dan menyibukkan
anak-anaknya dengan mainan dari bulu. Mereka melakukan hal itu sebagai
upaya melatih anak-anak mereka untuk berpuasa. Anak kecil tidak
disyaratkan berpuasa sehari penuh karena belum wajib. Akan tetapi,
hendaknya orang tua membiasakan mereka berpuasa sesuai kemampuannya.
[10]. Dan semisal no.9: Sebagian wanita telah hHaidh di usia
dini; sepuluh atau sebelas tahun, tetapi orang tuanya tidak
memerintahkannya berpuasa dan beremehkan hal ini.
Ini merupakan kelalaian terhadap hukum-hukum syariat, karena haidh
merupakan tanda-tanda baligh. Di saat wanita itu mulai haidh, di saat
itulah ia mulai baligh. Telah berlaku baginya pena kebaikan dan
kejahatan, serta wajib untuk melaksanakan ibadah.
Tanda-tanda baligh:
a. Keluar air mani karena mimpi atau yang lainnya.
b. Tumbuhnya bulu kemaluan.
c. Mencapai usia lima belas tahun.
d. Haidh bagi wanita.
Jika salah satu tanda di atas terdapat pada seseorang, ia telah menjadi mukallaf (diberi beban syariat -ed).
[11]. Melafazhkan niat Puasa.
Ini tidak memiliki asal dari sunnah yang suci, bahkan termasuk bid’ah
yang diada-adakan. Niat merupakan salah satu syarat sahnya ibadah
sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.
Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya tergantung pada niat. (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Akan tetapi, niat itu tempatnya di hati sehingga cukup seseorang itu
bangun untuk makan sahur, atau bertekad untuk berpuasa sebelum tidur,
atau yang semisalnya (tanpa perlu melafadzkan niat di lisan-ed). Pada
asalnya, niat ini berlaku selama satu bulan penuh, kecuali bagi orang
yang berniat untuk berbuka karena dalam kondisi sakit atau safar. Dalam
kedua kondisi tersebut, ia perlu memperbarui niat tatkala hendak
berpuasa kembali.
**Dari Majalah Ommaty, Edisi 37 Ramadhan 1428 H