MUHASABAH (salam-online): Adalah sangat
menyedihkan, hingga saat ini kita sulit mendapatkan ulama, pemimpin umat
sekaligus pemimpin bangsa dalam arti sesungguhnya.
Ulama yang dimaksud bukan sekadar menguasai ilmu alat seperti fiqih,
tafsir, hadits, dan sebagainya. Lebih dari itu, kita mendamba ulama
pejuang, pemimpin yang kredibel, kapabel dan akseptabel, serta memiliki
integritas tinggi. Ulama sekaligus presiden, gubernur, walikota, bupati,
dan sebagainya.
Sebab, dalam Islam tak ada pemisahan Ulama dengan Umaro (pemerintah).
Nabi sekaligus pemimpin Negara dan pemerintahan. Para khalifah itu, ya
Ulama, ya kepala Negara dan pemerintahan...
klik tajuk / link
Memisahkan keduanya, itu
namanya sekular. Islam menolak sekularisme.
Karena itulah, ulama yang dimaksud, sebagaimana disebut di atas,
bukan sekadar menguasai “ilmu alat”. Mereka adalah sosok yang secara
makro memahami dan memiliki wawasan kebangsaan, kenegaraan,
internasional, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Mereka adalah
pemimpin yang dapat dijadikan teladan, kredibel (amanah, dapat
dipercaya).
Bagi kaum Muslimin kredibilitas pemimpin itu faktor yang sangat
penting, sehingga jika ia mengeluarkan statemen atau “fatwa”, umat tak
kan meragukannya. Jika ada tokoh yang mengeluarkan pernyataan atau
mengajak umat untuk melakukan sesuatu, tapi banyak penolakan, pertanda
sang figur masih belum dipercaya. Kredibilitasnya masih dipertanyakan.
Di samping kredibel di mata umat, pemimpin yang kita maksud harus
kapabel, yakni mampu, sanggup, cakap, pandai. Dia adalah sosok yang
memiliki kemampuan dalam memimpin, menjadi
problem solver, cakap dan cerdas dalam memecahkan masalah bagi rakyat (umat)nya.
Sekadar memiliki Kredibilitas dan Kapabilitas, tak cukup. Keduanya
tak punya arti apa-apa, kalau tak didukung dan diterima banyak pihak.
Karenanya, seorang pemimpin harus Akseptabel, yakni diterima banyak
kalangan.
Akseptabilitas pemimpin itu sangat bergantung pada Kredibilitas dan
Kapabilitasnya. Dalam arti, Akseptabilitas dengan sendirinya didapat,
jika Kredibilitas dan Kapabilitas dimiliki.
Persoalannya sekarang, kita kehilangan sosok dengan ciri dan kriteria
seperti tersebut di atas. Ini kita alami dalam kurun waktu yang cukup
lama. Perlu waktu untuk menyusun, menata dan melakukan gerakan
kaderisasi,
tarbiyah (pendidikan) di segala bidang.
Institusi pendidikan dan gerakan Islam mempunyai tanggung jawab yang
besar untuk menggerakkan kembali sel-selnya, membentuk pribadi-pribadi
yang andal dan militan, berkarakter dan memiliki integritas tinggi, dan
tentu saja (akhirnya) sosok-sosok yang Kredibel, Kapabel dan Akseptabel.
Untuk menghadirkan sosok yang kita maksud, tak cukup kita
mengandalkan pendidikan formal. Madrasah tarbiyah yang digerakkan
Rasulullah saw, para sahabat dan para ulama dulu, ternyata banyak
menghasilkan sosok (ulama) pemimpin yang diakui kredibiltas dan
kapabilitasnya.
Rasulullah saw, jelas, mendapat tarbiyah langsung dari Allah SWT.
Para sahabat mendapat sentuhan langsung dari Rasulullah, sehingga kita
mengenal figur-figur luar biasa seperti Abubakar Shiddiq ra, Umar bin
Khaththab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib ra, Umar Abdul
Aziz ra, dan lainnya.
Di republik ini, kita pernah melahirkan para ulama dan pemimpin umat.
Mereka lahir dan hadir dalam dadung perlawanan, berkuah darah, mengusir
penjajah. Dari merekalah pesan-pesan pergerakan lahir.
Setiap kamu adalah pemimpin…
Sikap dan perjuangan mereka megusir penjajah, memberikan inspirasi
kepada kita untuk menggerakkan dan menata republik ini, meskipun
belakangan pengkhianatan demi pengkhianatan menimpa kita sampai
sekarang.
Dalam berjuang, para ulama dan pemimpin terdahulu negeri ini, tak
pernah membayangkan bahwa mereka kelak akan jadi presiden dan menteri.
“Mereka telah bekerja dengan caranya untuk memajukan bangsanya,
mengharumkan tanah airnya…. Mereka telah menghabiskan sebagian besar
umurnya untuk mengabdi dan berkhidmah. Mereka tak tahu apakah pahit
getirnya, air matanya yang tertumpah dan nyawanya yang melayang itu,
suatu pengorbanan? Begitu ikhlas mereka memberikan segala-galanya untuk
kemajuan bangsa dan tanah airnya, tanpa pamrih apapun, kecuali atas
keinsafan bahwa semua itu cuma suatu keharusan hidup, kewajiban
semata-mata. Pada saat bangsanya mengecap kenikmatan kemerdekaan, mereka
tak lagi berada di tengah-tengahnya. Mereka telah dipanggil oleh Allah,
Zat Yang Maha Kasih Sayang, untuk menikmati kebahagiaan yang abadi di
sisi-Nya,” tulis KH Dr Saifuddin Zuhri dalam
Guruku Orang-orang dari Pesantren.
Sejarah dan riwayat negeri ini, memang, sangat banyak melahirkan para
ulama. Jangan salah, mereka tak sekadar mengajar dan mentarbiyah umat.
Tapi juga turun, berjuang, membebaskan negerinya dari kaum penjajah.
Justru pesantren dijadikan basis perjuangan melawan penjajah.
Pemimpin: memberi motivasi, menuntun, mengarahkan
Para ustadz dan kiai dengan pesantren dan santrinya, jadi inspirator perjuangan, menegakkan
al-Haq, membasmi
al-Bathil. Penjajah sangat takut melihat semangat dan
hamasah (keberanian)
orang-orang pesantren. Tapi setelah penjajah hengkang dari republik,
mereka dilupakan. Manakala negeri ini merdeka, lalu mengadakan pemilu,
kiai dan pesantren didekati. Setelah berhasil jadi penguasa,
pesantren-pesantren itu dilupakan lagi, begitulah seterusnya.
Kini, di tengah sulitnya mencari sosok pemimpin yang punya komitmen
kuat terhadap Islam dan umat, tiba-tiba ingatan kepada tarbiyah di
pesantren dan berguru kepada kiai yang memiliki ilmu luas dan ikhlas,
memberikan semangat dan optimisme, bahwa semoga kelak, akan lahir sosok
yang kita dambakan itu.
Kiranya, pemimpin yang memiliki kemampuan dengan kondisi seperti
digambarkan di atas, akhirnya membawa negeri dan bangsa ini berada dalam
naungan Islam–dimana semua aspek kehidupan berjalan di atas tuntunan
Allah dan Rasul-Nya. Tidak seperti sekarang, dimana kehidupan
berpolitik, sosial, ekonomi, pendidikan, budaya, dan sebagainya,
bertolak belakang dengan Islam.