Bicara adalah kebutuhan.. Dengan bicara gagasan-gagasan
yang tersimpan di kepala, dan emosi yang tersimpan di hati jadi bisa
ditangkap oleh orang lain. Hal ini akan memberikan kepuasan tersendiri
bagi kita. Bahkan menyehatkan! Apalagi bila kemudian gagasan dan emosi
kita ini direspon oleh lawan bicara, tentu ini makin membuat kita merasa
diperhatikan.
Begitu banyak orang yang merasa diterima di sebuah
lingkungan hanya gara-gara dia bisa mendominasi pembicaraan atau karena
orang-orang mau mendengarkan kata-katanya, juga mengagumi isi ceritanya.
Respon yang positif ini akan mendorong seseorang untuk melakukaan hal
yang sama di lain tempat dan waktu.....klik tajuk/ eramuslim.com
Sebaliknya banyak orang yang merasa ditolak hanya
gara-gara dia tidak bisa mengimbangi lawan bicaranya, atau tak ada yang
mengagumi cerita-ceritanya, bahkan tak ada yang mau mendengarkan
kata-katanya.
Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa sesungguhnya
kebanyakan dosa anak Adam berada pada lidahnya. Semua kata yang keluar
dari lisan seorang muslim seharusnya punya konsekuensi yang lebih besar
dan lebih bisa dipertanggungjawabkan. Ini disebabkan seorang muslim
berbicara diawali dengan pemahaman atas apa yang dia bicarakan dan
pemahaman atas konsekuensi-konsekuensi dari apa yang dia bicarakan,
tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Pemahaman atas apa yang dia bicarakan membuat seorang
muslim tidak bicara “ngaco”. Ilmu menjadi dasarnya, baik ilmu yang
diperoleh dari pendidikan formal maupun nonformal, bahkan ilmu dari
pengalaman hidup sekalipun. Pemahaman terhadap ilmu ini akan membuat
seorang muslim bisa bijaksana memilah kata-kata yang tepat, sesuai
dengan latar belakang dan kecenderungan orang yang diajak bicara.
Pengetahuan tentang konsekuensi atas apa yang dia
bicarakan pun akan mendorong seorang muslim untuk menjaga lisannya agar
hanya mengeluarkan kata-kata terbaik yang mengandung kemanfaataan dan
keselamatan bagi orang lain. Bukan sekedar kata-kata basa-basi dengan
harapan mendapat decak kagum dari orang lain. Bukan juga kalimat-kalimat
manis yang diluncurkan hanya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan
pribadi, tanpa ada nilai manfaatnya bagi orang lain.
Dalam beberapa hal, ini masih bisa ditolerir pada
batas-batas tertentu. Namun bila kemudian menjadi kebiasaan yang
berkepanjangan dikhawatirkan bisa menjerumuskan kita pada kata-kata
dusta tanpa kita sadari, hanya untuk tujuan ini; tujuan pengakuan dari
orang lain. Sungguh, sebuah kebohongan yang kita ucapkan sekali, dan
kemudian kita ulangi kedua kali bahkan sampai ketiga kalinya tanpa
adanya penyesalan akan menjadikan kita terbiasa olehnya.
Satu kata kebaikan yang keluar dari lisan seorang muslim
pun punya konsekuensi bahwa dialah orang pertama yang melaksanakan
kata-katanya tersebut. Apa pun kata-kata itu; diucapkan langsung ataupun
dalam bentuk tulisan. Bukan suatu yang mudah memang. Kadang tuntutan
ini membuat kita jadi takut mengajak orang lain pada kebenaran. Akhirnya
kita lebih memilih diam. Padahal satu kebaikan yang kita sebarkan
melalui kata-kata kita, kemudian orang lain ikut melaksanakan, maka
pahalanya akan mengalir kepada kita tanpa mengurangi pahala orang yang
melaksanakannya sedikit pun. Apalagi jika kebaikan itu terus menyebar
dan dilaksanakan oleh banyak orang, terus dan terus.
Begitu murahnya Allah memberikan balasan berlipat-lipat
atas kebaikan yang telah kita ucapkan kepada orang lain, walau itu hanya
sepatah kata. Jika kemudian Allah juga menuntut kita untuk melaksanakan
kata-kata kita, itu bukan bermaksud untuk memberatkan, tapi untuk
menunjukkan kepada kita bahwa apa pun yang keluar dari lisan kita akan
dimintai pertanggungjawabannya.
Berbicara untuk kebaikan dan kemanfaatan akan mudah kita
lakukan jika ini sudah menjadi kebiasaan.Tanpa diformat terlebih dahulu,
semuanya akan mengalir dengan sendirinya. Mudah dan ringan. Tentu saja
bagi yang belum terbiasa harus memformat awal semua kebaikan di dalam
kepala dan hati kita, kemudian kita ingatkan diri kita untuk
mengulanginya kembali, melaksanakan sedikit demi sedikit apa yang kita
mampu, berulang-ulang, sampai kemudian menjadi kebiasaan yang keluar
secara otomatis. Yang jelas memang butuh waktu dan proses. Dengan
demikian gagasan-gagasan dan emosi yang tersimpan di kepala dan hati
bisa kita keluarkan dengan lebih baik, tanpa menimbulkan kesia-siaan
bagi diri kita juga bagi orang lain.
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Sangat besar kemurkaan Allah
atas apa yang kamu katakan tapi tidak kamu perbuat.” (ash shaff : 2-3).
Wallahu a’lam