Sumber [eramuslim.com]
Salah satu ciri utama seorang yang bertaqwa ialah pemahamannya akan
dunia dan akhirat sebagaimana dikehendaki Allah سبحانه و تعالى . Ia
yakin bahwa dunia merupakan sekedar tempat bersenda-gurau dan bermain
belaka. Sedangkan kehidupannya kelak di akhirat ia pandang lebih utama
daripada kehidupan di dunia. Kehidupan akhirat-lah yang ia sikapi secara
serius. Ia tidak mau bermain-main maupun bersenda-gurau dengan
kehidupan akhiratnya. Sehingga untuk kehidupan dunia ia berikan
perhatian yang secukupnya saja.
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُالْآَخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
”Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda
gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi
orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS Al-An’aam ayat 32)
Keberhasilan yang dikejar secara serius oleh seorang muttaqin ialah
keberhasilan di akhirat. Baginya keberhasilan di dunia merupakan sesuatu
yang bersifat supplementary (faktor pelengkap) saja. Tetapi
keberhasilan di akhirat adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar
sedikitpun karena ia merupakan faktor utama. Ia tidak rela
mempertaruhkan keberhasilannya di akhirat demi keberhasilannya di dunia.
Namun sebaliknya, demi keberhasilannya di akhirat ia rela kehilangan
keberhasilannya di dunia.
......klik tajuk/
eramuslim.com
Berapapun bagian dari dunia akan ia relakan bila hal itu dapat menjamin
keberhasilannya di akhirat. Sebab ia sangat yakin bahwa kehidupan
sebenarnya adalah di negeri akhirat. Sedangkan kehidupan di dunia tidak
lain hanyalah senda-gurau dan permainan belaka. Kalaupun berhasil di
dunia, maka itu merupakan keberhasilan sesaat, sementara dan palsu.
Namun keberhasilan di akhirat merupakan keberhasilan hakiki dan abadi.
Bagaimana mungkin ia akan rela kehilangan keberhasilan hakiki dan abadi
demi memperoleh keberhasilan sesaat, sementara, dan palsu?
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ
الدَّارَ الْآَخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan
main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan,
kalau mereka mengetahui” (QS Al-Ankabut 64)
Namun dalam realitas kita melihat banyak manusia modern justeru bersikap
sebaliknya. Dan ini tidak saja diperlihatkan oleh sembarang manusia.
Bahkan sebagian manusia yang mengaku muslim sekalipun menampilkan sikap
terbalik. Bila menyangkut urusan peluang keberhasilan di dunia ia
menjadi sangat serius. Ia kerahkan perhatian, waktu, tenaga dan uang
tanpa keraguan. Namun bila menyangkut urusan peluang keberhasilan di
akhirat ia malah bersikap setengah hati bahkan bermain-main dan
bersenda-gurau. Ia sangat fokus akan sukses dunia namun sangat tidak
peduli sukses akhirat. Seolah sukses dunia merupakan sesuatu yang hakiki
sedangkan sukses akhirat hanyalah mimpi tanpa bukti. Mengapa hal ini
terjadi?
Salah satu sebab mengapa banyak orang yang mengaku muslim memiliki
logika dan sikap terbalik menghadapi dunia dan akhirat karena mereka
telah masuk ke dalam perangkap “lubang biawak” yang ditawarkan oleh
penguasa dunia modern dewasa ini, yaitu masyarakat barat Amerika-Eropa
alias masyarakat kaum yahudi-nasrani. Dan keadaan ini sudah diprediksi
oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم sejak limabelas abad yang lalu.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ
لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: "Sungguh, kalian benar-benar
akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi
sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke
dalam lubang biawak sekalipun, maka kalian pasti akan mengikuti mereka."
Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum yahudi dan
nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka?" (HR Muslim - shahih)
Dunia modern dewasa ini membuktikan kebenaran prediksi Nabi صلى الله
عليه و سلم di atas. Kita menyaksikan bagaimana di satu sisi Allah سبحانه
و تعالى berikan hak kepemimpinan dunia (global leadership) kepada kaum
yahudi dan nasrani dan pada sisi lain banyak kaum muslimin menjadi
pengekor kaum yahudi-nasrani sedikit demi sedikit sehingga tatkala
dijebloskan ke dalam lubang biawak sekalipun kaum muslimin cenderung
ikut saja. Padahal kaum yahudi-nasrani memiliki cara pandang terhadap
dunia sebagaimana peradaban Romawi dahulu kala, yakni cara pandang
materialisme. Hal ini Allah سبحانه و تعالى singkap di dalam surah yang
nama surahnya berarti bangsa Romawi, yaitu surah Ar-Ruum ayat ke tujuh:
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَاوَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir/material (saja) dari kehidupan
dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS Ar-Ruum ayat 7)
Peradaban Romawi masa lalu merupakan peradaban digdaya namun dilandasi
faham materialisme. Mereka hanya memahami keberhasilan berdasarkan
tolok-ukur dunia fana. Mereka tidak peduli bahkan mengingkari adanya
kehidupan sebenarnya di akhirat kelak. Oleh karenanya mereka berprinsip
“It’s now or never” (kalau tidak berhasil sekarang, maka tidak akan
pernah berhasil selamanya). Dunia modern-pun meyakini paradigma yang
serupa. Akhirnya segenap manusia diarahkan untuk meyakini hal serupa,
tanpa kecuali kaum muslimin-pun disihir dengan cara pandang
materialisme.
Akhirnya muncullah orang-orang yang mengaku muslim dan merasa bertaqwa
tetapi cara-pandangnya mirip dengan kaum yahudi-nasrani. Mereka lebih
mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat. Peduli sukses dunia
daripada sukses akhirat. Bahkan penyakit ini menjangkiti sebagian orang
yang dikenal sebagai Ustadz di tengah masyarakat. Para “ustadz” ini bila
menafsirkan ayat Allah mengenai bagaimana seharusnya mensikap dunia dan
akhirat, maka mereka menafsirkannya berdasarkan faham materialisme
alias dunia-oriented. Misalnya terhadap ayat berikut:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi.” (QS Al-Qashshash 77)
Sudah sangat jelas bahwa melalui ayat di atas Allah سبحانه و تعالى
menyuruh kita mengejar negeri akhirat sebagai fokus utama. Sedangkan
terhadap kenikmatan duniawi Allah hanya mengatakan “jangan kamu lupakan
bahagianmu”. Artinya, Allah menyuruh kita all out (habis-habisan)
mengejar kebahagiaan akhirat. Sedangkan terhadap dunia yang penting
jangan sampai kita melupakannya atau mengabaikannya. Redaksi ayat sudah
amat-sangat jelas seperti demikian.
Namun di era penuh fitnah dewasa ini bermuncullanlah para “ustadz” yang tatkala menafsirkan ayat di atas berkata:
“Wahai kaum muslimin, silahkan berlomba menjadi orang kaya di dunia,
sebab Islam tidak melarang anda menjadi orang kaya. Bahkan para sahabat
banyak yang kaya-raya seperti Abu Bakar, Abdurrahman bin Auf dan Usman
bin Affan. Silahkan kejarlah berbagai keberhasilan dunia..... Yang
penting, janganlah sampai melupakan kehidupan akhirat.....!”
SubhaanAllah.... sepertinya nasihat yang sungguh indah. Tetapi kalau
kita renungkan dalam-dalam jelas bahwa tafsiran yang disampaikan pak
“ustadz” di atas bertentangan 180 derajat dengan apa yang Allah sebutkan
di dalam ayatnya. Pak ustadz jelas-jelas telah mengekor kepada
paradigma materialisme peradaban Romawi. Pak ustadz telah masuk ke dalam
lubang biawak..! Pak Ustadz nyata-nyata lebih mengutamakan kehidupan
dunia daripada sukses akhirat.
Di dalam Al-Qur’an Allah tidak pernah menyuruh kita untuk berlomba
mengejar dunia. Berkompetisi merebut keberhasilan di dunia apakah itu
dalam hal kekayaan, popularitas, kekuasaan dan lain sebagainya tidaklah
Allah perintahkan. Bila sudah berkenaan dengan kompetisi pasti Allah
menyuruh kita berlomba merebut sukses akhirat. Coba perhatikan ayat-ayat
di bawah ini:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertakwa,” (QS Ali Imran 133)
تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِيُسْقَوْنَ مِنْ رَحِيقٍ مَخْتُومٍخِتَامُهُ مِسْكٌ وَفِي
ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَوَمِزَاجُهُ مِنْ تَسْنِيمٍعَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُونَ
“Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka
yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak
(tempatnya), laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu
hendaknya orang berlomba-lomba. Dan campuran khamar murni itu adalah
dari tasnim, (yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang
didekatkan kepada Allah.” (QS Al-Muthaffifiin 24-28)
Ketika Allah menyuruh “bersegeralah kamu” maka yang dimaksud adalah
mengejar ampunan Allah dan surgaNya. Ini semua merupakan perkara di
akhirat kelak. Ketika Allah menyuruh “untuk yang demikian itu hendaknya
orang berlomba-lomba” maka Allah menyisipkannya di tengah rangkaian ayat
yang sedang berbicara mengenai berbagai kesenangan penghuni surga. Ini
adalah urusan akhirat. Jadi, tidak pernah Allah menyuruh kita untuk
mengejar dunia dan mengejar ketertinggalan kita dari orang-orang kafir
di dalam urusan dunia. Bahkan jelas-jelas Allah melarang Nabi Muhammad
صلى الله عليه و سلم beserta ummatnya bergaul dan berdekat-dekat dengan
manusia yang dalam segala perhatian dan pembicaraannya hanya melulu
urusan dunia.
فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ
إِلَّا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ذَلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ
”Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari
peringatan Kami, dan hanya menginginkan kehidupan duniawi. Itulah batas
pengetahuan mereka.” (QS An-Najm ayat 29-30)
Pantaslah bilamana Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم mengajarkan kita
doa agar dunia tidak menjadi batas pengetahuan seorang mukmin dan
muttaqin.
اللهملَا تَجْعَلْ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia menjadi perhatian utama kami serta batas pengetahuan kami.” (HR Tirmizi – Hasan)