Ada khurafat yang selama ini diyakini oleh sebahagian besar masyarakat iaitu sistem suara majoriti di dalam Demokrasi yang didakwa sebagai
kehendak rakyat secara umum.
Khurafat sendiri mempunyai makna cerita- cerita rekaan yang
mempesona, khayalan, dongeng, pemujaan, dan keyakinan tertentu yang
menyimpang dari Islam.
Khurafat "Sistem majoriti" inilah yang terus disuntikkan kepada
masyarakat agar mereka meyakini jika Demokrasi merupakan sistem terbaik
yang mewakili kehendak masyarakat secara umum.
Dalam artikel singkat ini, Syaikh Ali Belhaj seorang tokoh FIS
AlJazair menyingkap dakwaan palsu tersebut dan sikap Islam terhadap
demokrasi.
Khurafat Demokrasi.
......klik tajuk / Arrahmah.com
Secara faktual telah diketahui, rakyat sebuah bangsa tidak mungkin
memerintah sendiri, tetapi memerintah melalui para wakilnya yang
terwujud dalam majoriti anggota majelis perwakilan yang telah mereka
pilih
Maka, berubahlah kehendak mayoritas (rakyat pada umumnya) menjadi
kehendak minoritas (kehendak wakil rakyat). Saat itulah muncul
kesewenang-wenangan/kediktatoran baru, karena kehendak rakyat beralih ke
tangan orang-orang yang mereka pilih saja. Sehingga rakyat tidak mampu
untuk membatalkan, menghapus, ataupun mengubah keputusan yang telah
ditetapkan oleh para wakilnya.
Menurut banyak pakar politik, prinsip mayoritas adalah teori yang
paling berbahaya terhadap berlangsungnya kebebasan individu, karena
setiap perbuatan yang muncul dari orang yang terpilih dapat menjadi
hukum sekaligus undang-undang hanya karena ia merupakan kehendak rakyat.
Dari sini kita bisa melihat bahwa mayoritas pendapat yang ada telah
berubah menjadi kesewenang-wenangan minoritas, dan fakta telah
membuktikan hal itu. Oleh karena itu, seharusnyalah umat Islam menjadi
umat yang bersandar pada dalil syar'i, bukan pada suara mayoritas.
Demokrasi Adalah Pemerintahan Minoritas, Bukan Pemerintahan Mayoritas Seperti yang Digembar-gemborkan
Kita menolak demokrasi, berbeda dengan orang kafir, berdasarkan
qa'idah syar'iyah yang telah diadopsi oleh jumhur muslimin untuk berbeda
dengan orang Yahudi dan Nashrani. Adapun dalil-dalil syar'i yang
mengesahkan qa'idah ini begitu masyhur untuk disebutkan dan terlalu
banyak untuk dibatasi. Salah satunya adalah firman Allah SWT :
"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari'at (peraturan)
dari urusan agama itu, maka ikutilah syari'at itu dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (QS Al-Jatsiyah [45] : 180)
Imam Ibnu Taymiyah telah menjelaskan maksud ayat tersebut secara baik di dalam kitabnya
Iqthidha` Ash-Shirat Al-Mustaqim fi Mukhalafati Ash-hab Al-Jahim halaman 8 :
"Kemudian Allah menjadikan Rasulullah SAW berada di atas syariat-Nya
dari agama itu yang telah ditetapkan-Nya bagi beliau dan Allah
memerintahkan beliau agar mengikuti syariat tersebut sekaligus melarang
beliau untuk mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Pada saat itu Rasulullah tinggal bersama orang-orang yang tidak
mengetahui, yaitu setiap orang yang selalu menyalahi syariat beliau
beliau. Hawa nafsu mereka adalah apa-apa yang mereka sukai. Penampakan
dari perilaku musyrikin tersebut muncul karena mereka mengikuti agama
mereka yang batil dan ajaran-ajaran lainnya. Akhirnya mereka menyukai
perbuatannya tersebut. Mereka meniru Rasulullah hanya untuk mengikuti
apa yang mereka senangi. Oleh karena itu kaum musyrikin dalam sebagian
prilakunya senang menyamai kaum muslimin, walau harus mengeluarkan
banyak harta demi tercapainya apa yang mereka inginkan itu."
Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitabnya
Tafsir Al-Qur`an Al-'Azhim juz 4 halaman 310 :
"Allah melarang kaum mukminin untuk menyerupai mereka sedikit pun baik dalam perkara ushul maupun furu'."
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya
Fathul Bari juz 10 halaman 298 :
"Aku telah mengumpulkan hadits yang berbicara tentang perbedaan kaum
muslimin dengan Ahlul Kitab. Ternyata aku menemukan 30 hukum tentang hal
itu. Lalu aku tulis dalam kitabku dengan nama Al-Qaulu Ats-Tsabt fi
Ash-Shaumi Yaum As-Sabt.
Sayid Qutub menjelaskan dalam kitab
Fi Zhilal Qur`an juz I halaman 127 pada masalah berbedanya kaum muslimin dalam masalah kiblat :
"Sesungguhnya kekhasan dan perbedaan dalam penampakan jati diri
merupakan hal yang penting bagi kaum muslimin. Kekhasan dan perbedaan
dalam penampakan jati diri dan akidah serta kekhasan dan perbedaan dalam
kiblat dan ibadah haruslah berbeda dan memiliki ciri khas tertentu.
Terkadang pengaruh (perbedaan) muncul demikian jelas mengenai kekhasan
dalam jati diri dan akidah, terkadang pula tidak begitu jelas dalam
masalah kiblat dan syiar-syiar ibadah.
Di sini perlu diperhatikan nilai dari bentuk-bentuk formalitas
ibadah. Orang yang pandangannya terfokus pada bentuk-bentuk formal ini
semata, yang dilepaskan dari hal-hal yang melingkupinya dan juga
terlepas dari dari tabiat kemanusiaanya dan pengaruh-pengaruhnya, maka
akan tampak baginya bahwa melestarikan bentuk-bentuk formal tersebut
adalah suatu fanatisme sempit atau suatu penyembahan kepada formalitas.
Tetapi kalau kita mau berpikir lebih luas dan dalam, maka akal sehat
kita akan menyingkapkan hakikat yang lain secara gamblang…
Berdasarkan asas yang fitri inilah Islam menegakan syiar-syiar
ibadahnya secara keseluruhan. Syiar-syiar ibadah itu tak cukup
ditunaikan hanya dengan niat atau kekhusyuan batin
(tawajjuh ruhiyah) semata, akan tetapi kekhusuyuan batin ini harus memiliki bentuk-bentuk zahir.
Demikianlah, dalam setiap ibadah ada gerakan dan dalam setiap gerakan
ada ibadah. Ini untuk menyatukan aspek yang lahir dan batin, untuk
menyelaraskan antara kekuatan lahir dan kekuatan batin, yang sesuai
dengan fitrah manusia secara keseluruhan, dengan metode yang selaras
dengan jati dirinya yang khusus.
Pembedaan tempat yang diarah seorang muslim dalam sholat dan ibadah
dan pengkhususannya, bukanlah (semata) agar dia berbeda dan nampak
secara khusus dengan jati diri, manhaj dan arahnya. Pembedaan ini,
adalah untuk memenuhi panggilan perasaannya yang cenderung ingin berbeda
dan bersifat unik, yang pada gilirannya akan memunculkan keistimewaan
dan keunikan.
Dari sini pula ada larangan untuk menyerupai
(tasyabbuh) orang-orang
non-muslim dalam sifat-sifat khas mereka, yang merupakan ekspresi lahir
dari perasaan-perasaan batiniah mereka, seperti juga larangan mengikuti
metode mereka dalam perasaan dan perilaku. Ini bukanlah kefanatikan dan
bukan pula berpegang dengan formalitas semata, melainkan pandangan yang
mendalam mengenai bentuk-bentuk formal yang bersifat lahiriah."
Dikutip dari buku:
Ad Damghah Al Qawwiyah li Nasfi Aqidah Ad Dimuqrathiyah, karya Syeikh Ali Belhaj dan diambil dari Suara Islam Online