Secara syar'iy, ulama adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah karena kedalaman ilmunya
Siapa sosok ulama itu?. Ulama itu secara bahasa merupakan jamak dari
kata alim yang berati orang berilmu. Secara syar'iy, ulama adalah
orang-orang yang paling takut kepada Allah karena kedalaman ilmunya. Di
antara karakter yang dimiliki ulama adalah, pertama, ulama adalah
orang-orang yang merupakan lambang iman dan harapan umat, serta
memberikan petunjuk dengan hanya berpegang pada Islam. Mereka mewarisi
karakter Nabi dalam keter-ikatannya terhadap wahyu Allah SWT.
Rasullah SAW bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan Ulama dimuka bumi
laksana bintang-bintang yang ada dilangit yang menerangi gelapnya bumi
dan laut. apabila padam cahayanya maka jalan akan kabur.” (HR. Ahmad).
Dalam hadis yang lain Beliau SAW bersabda: “Sesungguhnya kedudukan
seorang alim sama seperti kedudukan bulan diantara bintang-bintang.
Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Imam Nawawi Al-Bantani menjelaskan kriteria Ulama. Menurut beliau ulama
adalah hamba Allah yang beriman, mengasai ilmu syariat secara mendalam,
dan memiliki peabdian yang tinggi semata-semata karena mencari
keridlaan Allah SWT, bukan keridlaan manusia. Dan kemudian dengan
ilmunya, mereka mengembangkan dan menyebarkan agama yang haq, baik dalam
masalah ibadat maupun muamalat.
Ciri yang dimilikinya adalah: (a) Memiliki keimanan yang kukuh,
ketaqwaan yang tinggi, berjiwa istiqomah dan konsisten terhadap
kebenaran, (b) Memiliki sifat-sifat kerasulan, yaitu jujur (shiddiq),
amanat (amanah), cerdas (fatanah), dan menyampaikan (tabligh), (c)
faqih fi ad-din (paham dalam agama) sampai rasikhun fi al-Ilm' (amat
dalam ilmunya), (d) Mengenal situasi dan kondisi masyarkat, dan (e)
Mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran
Allah SWT. ....klik tajuk / suara-islam
Kedua, benar-benar takut kepada Allah SWT baik dalam hati, ucapan maupun
perbuatannya dan berpegang kepada aturan Allah SWT. Firman Allah SWT: "Sessungguhnya mereka yang takut di kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama”. (QS. Al-Fathir [35] :28).
Ketiga, tidak mendiamkan, tidak menyetujui dan tidak mendukung
kedzaliman dan siapapun yang berbuat dzalim. Tegas sekali firman Allah
SWt dalam ayat berikut: “Dan janganlah kalian cenderung (la
tarkanu) kepada orang-orang yang berbuat dzalim, yang menyebabkan
kalian disentuh api neraka...” (QS. Hud [11]: 113). Ibnu
Juraij menyatakan bahwa kata la tarkanu berarti 'jangan cenderung
kepadanya'; Qatadah menyebutkan, 'jangan bermesraan dan jangan
mentaatinya'; sementara Abu Aliyah menerangkan kata itu berarti 'jangan
meridlai perbuatan-perbua-tannya'.
Terkait masalah ini, Imam Az-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasyaf Juz
II/416 mengutip beberapa pendapat. Di antaranya pendapat Imam Ats-Tsauri
yang berkata: “Di nereka jahanam nanti ada suatu lembah yang tidak
dihuni orang kecuali para pembaca al-Qur'an yang suka berkunjung
kepada para penguasa”. Senada dengan hal ini, Imam Auza'i mengatakan, “Termasuk yang dibenci oleh Allah adalah ulama yang suka berkunjung kepada para penguasa.” Bahkan Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasullullah SAW bersabda : “Siapa
yang berdo'a untuk orang zhalim agar tetap berkuasa, maka dia telah
menyukai orang itu bermaksiat kepada Allah di bumi-Nya”.
Dalam tafsir yang sama, disebutkan bahwa Imam Zuhri bergaul dengan para
penguasa yang terkenal tidak memenuhi hak-hak masyarakat serta tidak
mening-galkan kebatilan.Terdapat seseorang yang mengiriminya surat
nasihat agar menjauhi fitnah. Dalam surat itu antara lain dia menyebut
tindakan bergaul rapat dengan penguasa akan menimbulkan konsekuensi
berupa dijadikannya perkara tersebut sebagai legitimasi beredarnya
kebatilan yang mereka lakukan, peng-akuan atas bencana yang mereka
lakukan, dan pembenaran atas penyimpangan mereka. Juga akan menimbulkan
kera-guan para ulama serta akan diikuti masyarakat umum. Orang itu
lantas menutup suratnya dengan kalimat: “Betapa banyak keuntungan yang mereka ambil dari anda disamping kerusakan yang mereka timbulkan kepada anda”. Jadi, ulama itu tidak akan pernah menjilat kepada penguasa yang menzhalimi rakyatnya.
Memaknai Politik
Sebelum berbicara lebih jauh tentang hal tersebut penting dipahami apa
yang disebut politik. Memang, politik dapat didefinisikan dengan
berbagai cara. Tetapi, bagaimanapun ia didefinisikan, satu hal sudah
pasti, bahwa politik menyangkut kekuasaan dan cara peng-gunaan
kekuasaan. Dalam pengertian sehari-hari, politik juga berhubungan dengan
cara dan proses pengelolaan pemerintahan suatu negara (Amien Rais,
Cakrawala Islam, hal. 27).
Dalam sistem sekuler, politik lebih didasarkan pada politik Machiavellis yang ditullis dalam buku The Prince.
Machiavellis mengajarkan bahwa: (1) kekerasan (violence), brutalitas,
dan kekejaman merupakan cara yang diperlukan pengu-asa; (2) penaklukan
total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak (summum
bonum); (3) dalam menjalankan kehidupan politik seseorang harus dapat
bermain seperti binatang buas. Karenanya, praktik politik sistem
sekuler merupakan homo homini lupus, manusia menjadi serigala terhadap
manusia yang lain. Slogannya pun adalah 'Kiranya dapat diterima akal
bila demi tuntutan profesionalnya, seorang serdadu harus membunuh dan
seorang politikus harus menipu' (It is thought that by the necessities of his profession a soldier must kill and politici on lie).
Fakta politik seperti inilah yang menjadikan sebagian kalangan Muslim
tertipu hingga menyimpulkan bahwa politik itu kotor. Karenanya, Islam
tidak boleh mencampuri politik, Islam harus dipisahkan dari politik.
Dakwah Nabi pun didudukkan sebagai dakwah spiritualitas dan moral
belaka, bukan dakwah bersifat politik.
Islam berbeda dengan itu. Politik dalam bahasa Arab dikenal dengan
istilah siyasah, artinya mengurusi urusan, melarang, memerintah (Kamus
al-Muhith, dalam kata kunci sasa). Nabi menggunakan istilah politik
(siyasah) dalam hadits:”Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya
oleh para Nabi (tasusu hum al-anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi
yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan
ada banyak para khalifah” (HR. Muslim).
Jadi, politik artinya adalah mengurusi urusan umat. Berkecimpung dalam
dunia politik berarti memperhatikan kondisi kaum Muslim dengan cara
menghilangkan kezhaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan kaum kafir
atas mereka. Politik Islam karenanya berarti mengurusi urusan masyarakat
melalui kekuasaan melarang dan memerintah dengan landasan
hukum/syariat Islam.
Bila dilihat dari hubungan antara makna ulama dengan makna politik maka
semestinya ulama dan politik Islam tidak dapat dan tidak boleh
dipisahkan. Artinya, ulama harus mengurusi urusan umat atas dasar
Islam.
Aktivitas Politik Ulama
Abu Nu'aim menyatakan bahwa Nabi mengatakan, “Dua macam golongan
manusia yang apabila keduanya baik maka akan baiklah masyarakat. Tetapi,
apabila keduanya rusak maka akan rusaklah masyrakat itu. Kedua
golongan manusia itu adalah ulama dan penguasa." Karenanya, ulama harus memeran-kan diri dalam rangka kebaikan masya-rakat, termasuk meluruskan penguasa.
Di antara aktivitas politik ulama adalah:
1.Membina umat. Ulama terus mela-kukan pembinaan di tengah-tengah umat
sehingga muncul orang-orang yang berkepribadian Islam. Umat dibina
perilakunya dengan selalu dikaitkan dengan akidah dan syariah.
2.Membangun kesadaran politik umat (wa'yu siyasi), yaitu kesadaran umat
tentang bagaimana mereka memelihara urusannya dengan syariat Islam.
Bahkan, boleh jadi ulama menjadi penguasa. Karenanya, ada sebagian ahli
tafsir yang memaknai ulil amri dalam surat an-Nisa ayat 59 sebagai
ulama.
3.Mengoreksi penguasa. Imam al-Ghazali menyatakan: “Dulu tradisi
para ulama mengoreksi dan men-jaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah
SWT. Mereka meng-ikhlaskan niat. Pernyataannya pun membekas dihati.
Namun, seka-rang terdapat penguasa yang zhalim namun para ulama hanya
diam. Andaikan mereka bicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya
sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu akibat
kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama.
Adapun kerusakan ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan.
Siapapun yang digenggam cinta dunia niscaya tidak akan mampu menguasai
kerikilnya, apalagi untuk meng-ingatkan para penguasa dan para
pembesar” (Ihya 'Ulumuddin, juz 7, hal. 92).
Berdasarkan hal di atas jelaslah bahwa ulama menjalankan politik Islam,
yaitu mengurus urusan masyarakat dengan Islam. Bukan sebaliknya,
melupakan Islam tetapi berpegang pada politik sekuler yang hanya untuk
kepentingan pribadi belaka. Wallahu a'lam.