Ustaz Abu M. Jibriel Abdurrahman (Arrahmah.com)
Kebablasan dalam bertoleransi telah lama melanda kehidupan umat Islam.
Hal ini tentu salah-satu dari akibat gencarnya gaung HAM, tuntutan dalam
kebebasan berekspresi, serta pelaziman bahwa semua agama adalah benar.
Selain alasan mendasarnya yaitu karena minimnya pengetahuan umat atas
syari'at
diennya akibat
ghirohyang lemah dalam mempelajari ilmu-Nya.
Begitu juga yang acapkali terjadi di setiap penghujung tahun Masehi,
hiruk-pikuk perayaan Natal seolah menguasai penjuru tempat—mulai dari
media massa, fasilitas umum, hingga pusat-pusat perbelanjaan.
Pernak-pernik bernuansa khas pun tampak semarak menghiasi
sudut-sudutnya. Bahkan yang sudah semakin akrab terlihat adalah para
pramuniaganya yang berjilbab turut mengenakan pernak-pernik tersebut
saat melakukan aktivitasnya.
Lalu bagaimanakah hukum-hukum yang berkenaan dengan perihal ini? Berikut beberapa yang bisa disimak:
a. Hukum mengucapkan selamat pada perayaan umat kafir
Berikut adalah pernyataan syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin:
Memberikan ucapan selamat pada hari raya umat kafir, seperti
perkataan "selamat Natal", maka hukumnya
adalah haram berdasarkan
kesepakatan para ulama'. Imam Ibnu al-Qoyyim
rahimahullah dalam
Ahkamu Ahli Dzimmah
menuliskan bahwa mengucapkan selamat terhadap syi'ar-syi'ar mereka
adalah haram. Perbuatan mengucapkan selamat seperti itu—kalaupun si
pelaku selamat dari kekufuran—maka ia telah melakukan sesuatu yang
diharamkan, sebab perbuatan tersebut sama saja dengan meridhoi
peribadahan pada perayaan mereka, bahkan ucapan seperti ini lebih besar
dosanya di sisi Allah Ta'ala ketimbang memberi ucapan selamat kepada
peminum khamr, pembunuh, pezina, atau selainnya.
Terlalu banyak umat Islam yang tidak mengetahui akan hukum ini
sehingga mudah terseret untuk mengikuti perbuatan maksiat ini. Mereka
sama-sekali tidak menyadari bahwa perbuatan ini mengundang kemurkaan
Allah Ta'ala. Hal tersebut karena dalam perbuatan itu tercermin adanya
pengakuan terhadap syi'ar-syi'ar kekufuran, ikhlas terhadap perbuatan
kufur yang dilakukan orang lain, serta ikut berpartisipasi dalam
melaungkan kekufuran tersebut sedangkan Allah
azza wa jalla telah jelas menyatakan,
Artinya,
"Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhoi kekafiran bagi hamba-Nya…"(QS. az-Zumar, 39:7)
Dalam satu keadaan, terkadang umat kafir tersebut yang memulai tanpa
sungkan mengucapkan selamat Natal kepada seorang muslim. Bila menemukan
keadaan seperti ini, maka jika demikian seorang muslim tetap tidak
diperbolehkan menyambut salam yang mereka ucapkan itu karena hal ini
termasuk sikap meridhoi pula.
Lalu bagaimana sikap seorang muslim yang merasa sungkan untuk tak
mengucap selamat pada perayaan umat kafir, sedangkan mereka telah
mengucap selamat ketika hari raya umat Islam? Ini adalah risalah yang
biasa muncul pada setiap muslim yang biasanya memiliki kerabat, atau
teman,atau tetangga, atau relasi dari golongan kafir. Mereka telah
menampakkan sikap baiknya dengan mengucapkan selamat hari raya pada
seseorang yang muslim, sehingga kemudian timbul 'tuntutan' untuk
membalas toleransi mereka. Maka selayaknya seorang muslim sejak awal
menampakkan sikap tegasnya untuk tidak mencampur-adukkan antara muamalah
dan sikap bertauhidnya, sehingga mereka (umat kafir) pun menjadi
menarik-diri untuk membiasakan memberi ucapan selamatnya itu. Allah
Ta'ala berfirman,
Artinya,
"…Allah menjadikan kamu cinta akan keimanan dan
menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci
kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang
yang mengikuti jalan yang lurus." (QS. al-Hujurat, 49:7)
Ayat diatas memberi kejelasan bahwa seorang muslim wajib menumbuhkan
kebencian bila melihat prilaku yang dibenci Allah Ta'ala, seperti
kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan—dalam hal ini, perbuatan orang
kafir yang merayakan hari kekafiran mereka dan turutnya seorang muslim
dalam perayaan tersebut termasuk perkara yang wajib dijauhi oleh seorang
yang mengaku muslim.
Ulama telah mengeluarkan fatwanya mengenai hal ini bahwa tidak boleh
seorang muslim memberi ucapan selamat kepada orang Kristen di hari raya
mereka karena sesungguhnya dalam perbuatan tersebut terdapat unsur sikap
saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa padahal Allah Ta'ala telah
tegas melarang perbuatan ini.
Anggapan bahwa umat Islam tidak menanamkan sifat toleransi seperti
yang dilakukan umat lain terhadapnya adalah salah-satu bentuk laungan
kesesatan. Persis seperti pemberitaan Allah Ta'ala bahwa jika mereka
berlemah-lembut kepada umat Islam, maka umat Islam harus membalas
kelemah-lembutan mereka. Ini juga yang dimaklumatkan oleh seorang yang
mengaku muslim namun memiliki cara berpikir liberal—Abdul Moqsith
Ghazali, yang mengatakan bahwa tolok-ukur toleransi antar muslim dan
umat Kristen adalah pada hal saling memberi ucapan selamat saat hari
raya keduanya.
Imam Ibnu Taimiyyah, imam Ibnu al-Qoyyim, syaikh Bin Baaz, serta syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahumullah
mengatakan perihal diharamkannya mengucapkan selamat Natal, termasuk
dalam hal ini, mengucapkannya melalui media-media telekomunikasi yang
tersedia saat ini, seperti melalui telepon, pengiriman kartu atau
parsel, pengiriman pesan singkat, email, maupun media lainnya. Ini
merupakan sikap tegas bahwa prinsip dalam berakidah tauhid tidak akan
pernah bercampur dengan kebatilan sampai kapanpun juga.
b. Hukum menghadiri perayaan umat kafir
Dahulu, khalifah Umar bin Khattab ra yang terkenal bersifat memiliki
ketegasan, pernah mengeluarkan sebuah undang-undang berkaitan dengan
kegiatan umat musyrik dari golongan
kafir dzimmi yang berusaha tetap ingin melanggengkan hari raya mereka. Undang-undang tersebut diantaranya berisi pelarangan kepada umat
kafir dzimmi
untuk secara terbuka memperlihatkan prosesi hari rayanya. Keadaan ini
tentu sangat berbeda dengan apa yang bisa dilihat sekarang. Dimana umat
kafir memiliki kebebasan yang tiada berbatas hingga menyentuh ke
ranah-ranah akidah umat Islam dalam memeriahkan perayaan mereka.
Ditambah pondasi keilmuan yang tak mumpuni, akhirnya inilah yang
terjadi, yaitu seorang muslim turut hadir ketika umat kafir merayakan
hari kemusyrikannya. Mereka memenuhi undangan karena lagi-lagi alasan
toleransi. Tak jarang mereka mengeluarkan
hujjah bahwa dalam syari'at Islam pun terdapat adanya kewajiban untuk memenuhi undangan.
Semoga mereka segera menyadari bahwa perbuatan ini adalah suatu
kekeliruan yang mengundang laknat Allah Ta'ala. Coba bayangkan tentang
perkataan yang mereka ucapkan kepada umat kafir tersebut: "
Selamat hari Natal, ya…"
Kalimat ini memang singkat dan nampak seperti sesuatu yang sepele, akan
tetapi tidak dihadapan Allah Ta'ala. Pahamilah bahwa syari'at-Nya tidak
akan bisa diakal-akali dengan berbagai
hujjah manusia, baik
karena pura-pura, sungkan, malu, maupun tidak enak karena sudah
diundang, apalagi dengan membawa dalil adanya kewajiban memenuhi
undangan…
Ibnu Abbas mengatakan,
إنَّهَا هُوَ كِتَابُ الله وَ سُنَّةَ رَسُولَهُ فَمَنْ قَالَ
بَعْدَ ذَالِكَ بِرُأْيَه فَلاَ ندري أفي حسناته يجد ذَالِكَ أَمْ فِيْ
سَيِّئَاتِهِ.
Artinya,
"Dalil dalam agama itu hanya kitab Allah dan sunnah
Rasul-Nya. Barangsiapa yang berkata dengan akal pikiran setelah adanya
dalil, maka kami tidak tahu apakah hal tersebut akan ia jumpai dalam
catatan kebaikannya atau dalam dosanya."
Allah Ta'ala berfirman tentang hukumnya menyaksikan suatu kebatilan,
Artinya,
"Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kebatilan dan
jika mereka melewati sesuatu yang sia-sia, mereka lewat sebagaimana
layaknya orang-orang yang mulia." (QS. al-Furqon, 25:72)
Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir mengatakan,
"Ayat tersebut
menjelaskan sifat hamba-hamba Allah yang diantaranya yaitu tidak
memberikan kesaksian palsu. Ada banyak makna az-zuur yang dikemukakan
para ulama', yaitu kesyirikan, penyembahan terhadap berhala, berdusta,
kefasikan, kekafiran, kebatilan, pertemuan dalam keburukan, hari raya
kaum musyrik, dan kesaksian palsu. Firman Allah yang menyatakan, "…dan
orang-orang yang tidak menyaksikan keburukan," memiliki makna mereka
tidak menghadiri tempat-tempat yang buruk seperti itu. Karena itu
selanjutnya Allah Ta'ala berfirman, "Dan apabila mereka bertemu dengan
orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat,
maka mereka melewati saja dengan menjaga kehormatan dirinya."
Ibrahim bin Maisaroh meriwayatkan bahwa,
إِنَّ ابْنَ مَسْعُوْدٍ مَرَّ بِلَهْوٍ فَلَمْ يَقِفْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: لَقَدْ أَصْبَحَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ كَرِيْمًا.
Artinya,
"Ibnu Mas'ud melewati pertunjukan musik, namun ia tidak
berhenti. Kemudian Rasulullah bersabda, "Pagi-pagi dan petang hari, Ibnu
Mas'ud menjadi orang yang mulia." (HR. Ibnu Hatim)
Hal ini juga sebagai dalil penegasan bahwa turut menghadiri hari raya umat kafir adalah merupakan bentuk
mudahanah (dukungan yang dilarang) dalam dien Islam.
Semasa Rasulullah, beliau saw pernah menyaksikan penduduk Madinah tengah merayakan hari raya yang
mashyur
di era jahiliyyah. Lalu beliau saw mempertanyakan perihal itu dan
mereka menjawab bahwa kegiatan tersebut sudah biasa mereka kerjakan
sejak dahulu. Rasulullah akhirnya bersabda,
إِنَّ اللهَ قَدْ أَبدلَكُمْ بِهِمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَ يَوْمَ الْفِطْر.
Artinya,
"Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari raya tersebut dengan dua hari raya yang lebih baik yaitu Idul Adha dan Idul Fitri." (HR. Abu Dawud)
Sikap Rasulullah tersebut adalah sebagai bentuk penafikan terhadap
segala praktek jahiliyyah yang sudah terhapus dengan datangnya Islam.
Begitupun dengan apa yang pernah dibawa nabi Isa
'alaihi salaam
beserta seluruh syari'atnya yang telah disempurnakan dengan diutusnya
beliau saw, sehingga menyebabkan syari'at itu sudah 'tak layak' lagi
untuk diikuti selamanya. Cukuplah Islam dengan segala kesempurnaannya
menjadi panutan setiap kaum muslimin.
Dalam
Ahkam Ahli Dzimmah, Imam Ibnu al-Qoyyim menyatakan,
"Sebagaimana
mereka (kaum musyrik) tidak dibolehkan menampakkan hari rayanya, untuk
itu maka tidak boleh bagi kaum muslim menyokong dan membantu mereka,
begitu juga tidak dibolehkan menghadiri perayaan hari raya mereka. Hal
ini adalah kesepakatan para ulama dan telah ditegaskan oleh para ulama
empat mahdzab di dalam kitab-kitab mereka."
c. Hukum mengenakan atribut-atribut umat kafir
Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa akhir-akhir ini telah
banyak kita temui keadaan dimana para pramuniaga muslim yang dalam
tugasnya turut mengenakan pernak-pernik dengan simbol agama umat kafir
di hari-hari perayaan mereka. Mengenai hal ini Islam jelas-jelas
melarang perbuatan tersebut, sebab sekali lagi—perbuatan itu termasuk
upaya pelaungan syi'ar-syi'ar kesesatan mereka. Sebut saja perkataan
Rasulullah saw yang menyuruh seorang muslim untuk membedakan dirinya
dari orang-orang kafir/musyrik, diantaranya melalui sisi penampilan
dengan memanjangkan jenggot dan mencukur kumis. Demikian pula ketika
Allah Ta'ala memerintahkan para perempuan muslim untuk mengenakan jilbab
sehingga berbeda dari perempuan-perempuan musyrik jaman jahiliyyah.
Allah Ta'ala berfirman,
Artinya,
"…dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah-laku) seperti orang-orang jahiliyyah dahulu…" (QS. al-Ahzab, 33:33)
Dan juga firman-Nya,
Artinya,
"…Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka, yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali sehingga
mereka tidak diganggu…" (QS. al-Ahzab, 33:59)
Atribut sinterklas seperti topi dan stelan musim dinginnya yang
berwarna merah-putih sudah jelas merupakan simbol-simbol Natal,
anak-anak kecil pun sudah mengetahui hal ini. Oleh karena itu,
ikut-ikutan mengenakannya sangat dilarang karena perbuatan tersebut juga
menjadi pertanda bahwa perayaan itu telah diterima dan diberi
kehormatan didalamnya.
Rasulullah bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
Artinya,
"Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut." (HR. Ahmad)
Dalam
Iqtidha Sirathiil-Mustaqim, Mukhalafatu Ashabil-Jahim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah telah berkata,
"Perbuatan
meniru-niru mereka (umat kafir) dalam perayaan mereka dapat menyebabkan
seseorang bangga dengan kebathilan yang ada pada mereka. Bisa jadi hal
tersebut akan lebih memotivasi mereka (umat kafir) untuk memanfaatkan
momen tersebut (dalam menyia'arkan kesesatannya)."
Namun bagaimana jika keadaannya sangat terpaksa seperti yang mungkin
dialami oleh sebagian pekerja muslim yang bekerja di
perusahaan-perusahaan kafir? Apalagi jika mereka menolak mengikuti
peraturan tersebut, maka terkena sangsi pemutusan kerja. Keluhan seperti
inilah yang sering diungkapkan sebagian besar para pekerja muslim.
Dengan menyodorkan hujjah karena keterpaksaan dan khawatir akan ladang
ma'isyah yang tertutup.
Solusi terbaiknya adalah tidak bekerja dimana perusahaan mewajibkan
karyawannya untuk mengikuti peraturan yang berseberangan dengan
syari'at, misalnya dilarang berjenggot
, dilarang berhijab,
diwajibkan mengenakan atribut simbol kafir, atau diperintahkan
mengerjakan tugas yang diharamkan dalam melakukan perniagaan, dan
selainnya
. Ketahuilah bahwa setiap muslim senantiasa diuji
keimanannya oleh Allah Ta'ala dengan berbagai-bagai keadaan yang kadang
terasa sulit dalam pandangan matanya. Allah Ta'ala berfirman,
Artinya,
"Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
sampaikanlah kabar kepada orang-orang yang sabar." (QS. al-Baqarah, 2:155)
Ayat diatas seharusnya menjadi acuan bagi setiap muslim bahwa ia
dalam hidupnya tak lepas dari ketetapan Allah Ta'ala berupa ujian-Nya
yang pasti akan diterimanya. Ketakutan akan mendapat sanksi dari atasan
akibat penolakan untuk tunduk terhadap peraturan yang menyalahi
syari'at, juga merupakan barometer sudah seberapa baik tingkat
ketauhidannya terhadap
Rabbul 'alamin. Ayat diatas juga
menunjukkan bahwa ujian yang dibebankan-Nya itu memiliki kadar yang
sedikit, dimana Allah Ta'ala juga sering menghibur hamba-Nya dengan
firman-Nya,
Artinya,
"…Kami tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya…" (QS. al-An'am, 6:152)
Jadi keyakinan inilah yang wajib ditanamkan dalam hidup seorang
muslim bahwa ia mampu melewati setiap cobaan yang diujikan Allah Ta'ala
kepadanya. Kegamangannya akibat takut diberhentikan pihak tempatnya
bekerja merupakan hal 'sedikit' yang tersebut dalam ayat ke-155 surat
al-Baqarah diatas. Ia hanya baru diuji dengan peraturan yang andainya
pun ditolak tidak akan menyebabkan sanksi kekejaman secara fisik,
misalnya dianiaya, diteror, atau dijebloskan ke bui. Coba bandingkan
dengan bebanan orang-orang sholih terdahulu yang mendapatkan ujian
luar-biasa yang membutuhkan pertaruhan nyawa demi terjaganya keimanan
mereka. Ada yang di jemur di terik matahari padang pasir, ada yang
dikuliti, ada yang disisir kulitnya dengan sisir besi hingga terpisah
antara kulit dan dagingnya, ada yang di penggal kepalanya, ada yang
dibantai habis keluarganya, dan siksaan fisik yang mengerikan
lainnya—namun itu tidak menggoyahkan keimanan mereka untuk tidak sekedar
beralih tunduk dalam kemusyrikan yang diingini kaum kafir. Allah Ta'ala
juga menggambarkannya dalam ayat berikut,
Artinya,
"Ataukah kamu mengira akan masuk surga, padahal belum
datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu
sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang
(dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang beriman
bersamanya berkata, "Kapankah datang pertolongan Allah?" Ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS. al-Baqarah, 2:214)
Perkara
ma'isyah memang selalu jadi bahan pemikiran utama
bagi kebanyakan manusia karena ia adalah penopang hidup yang tidak bisa
dipungkiri keberadaannya. Darinya ia dipergunakan untuk memenuhi
kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian, biaya pendidikan, hingga
kesehatan. Namun sepatutnyalah semua dikembalikan kepada kekuasaan Allah
Ta'ala, sebab tanpa ijin-Nya semua perkiraan, usaha, dan
hitung-hitungan manusia tidak akan ada gunanya. Untuk itu keridhoan
Allah Ta'ala menjadi sangatlah penting bagi manusia. Dengan ridho-Nya,
semua hal akan terasa ringan dan mudah. Dan pencapaian itu hanya bagi
orang-orang yang bersabar ketika diuji imannya serta berserah-diri
kepada-Nya. Allah Ta'ala berfirman,
Artinya,
"Dan barangsiapa berserah-diri kepada Allah, sedang ia
orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada
buhul-tali yang kokoh. Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan." (QS. Luqman, 31:22)
Namun jika seseorang sangat berada dalam kondisi keterpaksaan dimana
misalnya ia memiliki kebutuhan mendesak dalam membiayai pengobatan
anggota keluarganya atau ia menjadi tulang-punggung keluarga yang wajib
memenuhi kebutuhan makan sehari-harinya, maka peraturan tersebut masih
bisa ditolelir dalam keadaan yang sangat darurat. Tentunya dengan
catatan, keterpaksaannya tersebut sangatlah memberatkan dirinya dan
ketundukkannya terhadap peraturan itu amat ditentang dalam hatinya.
Allah Ta'ala berfirman,
Artinya,
"…tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang ia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada
dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang." (QS. al-Baqarah, 2:173)
Namun tetap menjadi kewajibannya untuk mengokohkan tauhidnya sehingga
tidak meluntur karena alasan keterpaksaannya tersebut dan ia
menyegerakan dirinya untuk berikhtiar berpindah ladang sumber
ma'isyahnya ke tempat-tempat yang tidak menyelenggarakan kemaksiatan dan kesesatan yang mengundang laknat Allah Ta'ala.
Fatwa MUI tentang haramnya umat Islam turut menyambut Natal
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwanya berkaitan dengan
turutnya sebagian umat Islam dalam perayaan tersebut dengan mengemukakan
dalil-dalil yang didasarkan dari al-Qur'an dan al-Hadits, seperti
berikut ini:
- Bahwa umat Islam diperbolehkan bekerja-sama dan bergaul dengan umat agama lain dalam masalah yang berkaitan dengan hubungan muamalah,
- Bahwa umat Islam tidak diperkenankan mencampur-adukkan agamanya dengan akidah dan peribadahan umat lain,
- Bahwa umat Islam harus mengakui kenabian dan kerasulan Isa al-Masih
bin Maryam sebagaimana pengakuan terhadap para nabi dan rasul yang lain,
- Bahwa barangsiapa yang berkeyakinan Tuhan lebih dari satu, atau
Tuhan memiliki putra dan Isa al-Masih adalah putra-Nya, maka ia termasuk
kafir dan musyrik,
- Bahwa pada hari kiamat nanti, Allah Ta'ala akan bertanya kepada Isa
al-Masih bin Maryam tentang apakah ia ketika hidup di dunia telah
menyuruh kaumnya untuk mengakui dirinya dan ibunya sebagai Tuhan,
pertanyaan tersebut lalu dinafikkan oleh Isa al-Masih bin Maryam,
- Bahwa Islam mengajarkan Allah Ta'ala itu Esa (tunggal),
- Bahwa Islam mengajarkan agar umatnya menjauhkan diri dari hal-hal
yang syubhat dan dari larangan Allah Ta'ala, serta untuk mendahulukan
menolak kerusakan daripada kemaslahatan.
Lalu berikut adalah isi fatwa MUI:
- Perayaan Natal di Indonesia, meskipun tujuannya untuk merayakan dan menghormati nabi Isa 'alaihi salaam, akan tetapi Natal tersebut tidak dapat dipisahkan dari risalah yang telah dikemukakan diatas.
- Mengikuti perayaan Natal bersama bagi umat Islam, hukumnya adalah haram.
- Agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah
Ta'ala, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada
hubungannya dengan perayaan Natal.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.
Wallahu a'lam bisshowwab.
Oleh : Ustadz Abu M. Jibriel Abdurrahman