....
Peneliti CIIA (The Community of Ideological Islamic Analisyst).
(Arrahmah.com) - "Demokrasi salah satu jalan setan!" Ungkap Kyai Ahmad Zaenuddin Qh, Pimpinan Ponpes Al Husna Cikampek dalam
Tabligh Akbar: Demokrasi Biang Masalah, Khilafah Islam Solusinya, Ahad (27/1) di Masjid Besar Asy-Syuhada, Cikampek, Jawa Barat.
Asal Mula Ide Demokrasi, Buah Dari Aqidah Sekulerisme
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno, yang dicetuskan di
Athena pada abad ke-5 sebelum Masehi. Demos berarti rakyat, dan
Cratos/Kratien/Kratia artinya kekuasaan/berkuasa/pemerintahan, sehingga
demokrasi bisa diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat.
Adapun aqidah sekulerisme lahir sesudah abad ke 14 masehi. Ada yang kemudian bertanya ketika melihat fakta tersebut
"bukankah sangat tidak mungkin ibu (demokrasi) lahir dari anak
(sekulerisme), Jika demikian, bagaimana menjelaskan bahwa demokrasi
lahir dari aqidah sekulerisme?"
Memang benar Demokrasi itu lahir lebih awal, yaitu pada abad ke 5 SM.
Sementara Sekulerisme lahir
sesudah abad ke 14 M. Namun dalam sejarah,
Demokrasi itu ternyata sudah masuk liang kubur, karena tidak bertahan
lama setelah kelahirannya. Ini dibuktikan bahwa setelah negara kota
Athena, tidak ditemukan lagi satu negarapun yang menerapkan sistem ini.
Sebagai gantinya, muncullah pemerintahan monarchi yang berkolaborasi
dengan Gereja, yang disebut dengan Theokrasi atau yang juga disebut
dengan negara agama.
Konsep theokrasi kemudian menimbulkan pergolakan karena adanya dua
kubu, kubu pertama yaitu tunduk kepada dominasi gereja yang dipimpin
oleh para bangsawan, sedangkan kubu kedua penolakan total terhadap
gereja yakni Agama Katolik yang dimpin oleh para kaum borjouis dan
filosof. Ini terjadi karena selama dominasi gereja, telah 300 ribu
ilmuan yang dibunuh, bahkan 32 ribu ilmuan dibakar hidup-hidup karena
tidak sesuai dengan doktrin gereja.
Pihak pertama membela monarki absolut (kekuasaan raja) dan teokrasi (kekuasaan gereja). Mereka mengopinikan teori
"kedaulatan Tuhan"
dan konsep raja sebagai manusia terpilih yang menjadi perpanjangan-Nya.
Dengan teori ini posisi raja dan gereja yang sudah stabil selama
ratusan tahun tidak digugat.
Sebaliknya,
pihak kedua menawarkan konsep
sekulerisme yakni menyatakan bahwa rakyat tidak perlu terikat pada
aturan gereja dalam kehidupan publik. Selanjutnya konsep sekulerisme
ini mengeluarkan 3 teori,
pertama yakni liberalisme yang menegaskan pola pikir dan pola sikap rakyat hendaknya terserah rakyat sendiri.
Kedua yakni
Kapitalisme menyatakan bahwa ekonomi hendaknya tidak didominasi
kerajaan. Hendaknya rakyat (termasuk di dalamnya kaum borjuis) terlibat
besar dalam ekonomi, dan pemerintah hanya sebagai "wasit ekonomi" saja.
Ketiga
yakni Demokrasi. Disaat aturan agama ditolak tentu manusia butuh aturan
baru, disinilah kemudian Demokrasi digali kembali dari liang kuburnya
setelah terkubur puluhan abad. Demokrasi menjadi pilihan ideal, karena
Demokrasi itu memang sistem yang menyerahkan segala sesuatunya kepada
keinginan manusia. Itulah kemudian kenapa dikatakan bahwa demokrasi
lahir dari aqidah sekulerisme.
Akhirnya diambillah jalan tengah (
al-hall al wasath) yang merupakan langkah pragmatis bukan hasil berfikir yang memuaskan akal dan menentramkan hati.
Ilusi Demokrasi
Sebagian besar manusia sudah terbius oleh ide demokrasi. Mereka
seolah dibuai oleh janji-janji manis yang selalu "didakwahkah" oleh para
pengusung demokrasi. Mereka mengira, sistem demokrasi akan membawa
mereka kepada kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera dan lebih
modern. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Demokrasi yang katanya bisa menjadi 'alat' untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat, pada faktanya juga bohong. Yang terjadi, demokrasi
sering diperalat oleh kelompok elit masyarakat (elit wakil rakyat, elit
parpol dan elit para pemiliki modal) untuk memperkaya diri mereka
sindiri sembari melupakan bahkan menindas rakyat.
Hal tersebut wajar, karena hakikatnya dalam demokrasi tidak pernah
ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS sendiri
menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865)
mengatakan bahwa demokrasi adalah, "
from the people, by the people, and for the people"
(dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas
tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford
B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat
pada tahun itu adalah
"from company, by company, and for company"
(dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan). Sejak awal
kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat
(bukan di tangan rakyat), yakni di tangan para pemilik modal. Hanya
saja, mereka menipu rakyat dengan menggembar-gemborkan seolah-olah
kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi, bila perubahan yang dikehendaki
adalah daulatnya rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal itu. Yang
berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para pemilik modal.
Ada sebagian kaum muslim berkata bahwa itu adalah konsep demokrasi
barat, sedangkan di dalam Islam kedaulatan berada di tangan rakyat
(suara mayoritas) bukan di tangan pemilik modal. Ini jelas pernyataan
yang keliru dan menyesatkan pola berfikir umat. Bahkan bisa mengancam
dan merusak aqidah umat islam. Kenapa? Karena jika dikatakan kedaulatan
berada di tangan rakyat melalui wakil-wakil nya di sistem politik
demokrasi, maka demokrasi telah merampas hak Allah swt untuk membuat
hukum dan menyerahkan kepada hawa nafsu manusia.
Allah SWT berfirman :
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (TQS. Al An'aam: 57)
Bahkan jika seseorang secara sadar dan terang-terangan menolak satu
saja hukum syariah Islam, menolak dalam arti mengingkari kewajiban akan
berhukum dengan hukum Allah tersebut maka ia bisa termasuk kategori
orang yang kafir.
Allah Swt berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (TQS al-Maidah [5]: 44).
Status kafir atau murtad itu tidak disebabkan karena tindakannya yang
tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah, namun karena
pengingkarannya terhadap suatu perkara telah dipastikan oleh al-Qur'an
dan al-Sunnah. Jika sudah pada taraf pengingkaran, masalahnya bukan
sekadar pelanggaran terhadap ketetapan hukum syara', namun sudah masuk
dalam wilayah aqidah. Sementara aqidah inilah yang menjadi pembeda
antara orang mukmin dengan orang kafir.
Syekh Taqiyuddin al-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum dalam
Nidzâm al-Hukm fî al-Islâm menuturkan:
وقد أمر الله السلطان والحاكم أن يحكم بما أنزل الله على
رسوله, وجعل من يحكم بما بغير ما أنزل الله كافرا إن اعتقد به, أو اعتقد
بعدم صلاحية ما أنزل الله على رسوله, وجعل عاصيا وفاسقا وظالما إن حكم به
ولم يعتقده
Dan sungguh Allah telah memerintahkan sultan dan penguasa untuk
berhukm dengan apa yang Allah Swt turunkan kepada rasul-Nya; dan
menjadikan orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan
sebagai orang kafir jika dia meyakininya, atau menyikini tidak layaknya
apa yang Allah turunkan; dan menjadikannya sebagai orang yang maksiat,
fasik, dan dzalim, jika berhukum dengan (selain apa yang Allah turunkan) dan tidak meyakininya.
Disamping itu, walaupun negara yang menganut sistem demokrasi
memberikan tempat bagi kelompok yang menyuarakan syariah Islam, namun
demokrasi tidak memberikan tempat agar syariah Islam tersebut dapat
diterapkan. Hal ini karena demokrasi telah menetapkan dengan garis tegas
bahwa agama tidak boleh terlibat dalam mengatur masalah publik.
Kebebasan didalam Ide Demokrasi
Demokrasi tidak bisa dilepaskan dari ide liberalisme/
al-hurriyah (kebebasan),
sebab kebebasan merupakan prasyarat agar rakyat dapat melaksanakan
kedudukannya sebagai sumber kedaulatan dan sumber kekuasaan. Kebebasan
harus diwujudkan bagi setiap individu rakyat. Dengan itu, mereka dapat
melaksanakan kedaulatannya dan menjalankannya sendiri, serta
melaksanakan haknya dengan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau
paksaan.
Karena pemilik kedaulatan adalah manusia maka manusia memiliki
kebebasan dalam segala hal. Kebebasan itu tidak boleh dilanggar dan
harus dijamin keberadaan dan pengekspresiannya. Paham kebebasan
(liberalisme) yang menjadi salah satu pilar sistem sekuler demokrasi
menjadikan pengaturan urusan manusia harus menjamin kebebasan manusia.
Peraturan dan kebijakan politik yang dikeluarkan tidak boleh melanggar
kebebasan ini. Lahirlah peraturan dan kebijakan yang bersifat permisif.
Ide ini telah membawa bencana paling mengerikan yang menimpa seluruh
umat manusia. Ide ini telah mengakibatkan berbagai malapetaka global
serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di negara-negara
penganut demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat
segerombolan binatang.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh kebebasan ide demokrasi bisa kita urai sebagai berikut :
a. Kebebasan beragama/Aqidah (
freedom of religion)
Dalam demokrasi, seseorang bebas untuk beragama ataupun tidak
beragama (atheis). Mereka juga bebas untuk berpindah-pindah agama (baca :
murtad), tentu hal semacam ini adalah kebebasan yang kebablasan, aqidah
atau agama seolah menjadi sesuatu yang tidak prinsip sehingga seolah
menjadi permainan.
Ini terjadi karena dalam demokrasi bahwa semua agama itu sama
sehingga manusia tidak boleh dibeda-bedakan atas dasar agamanya. Dengan
pandangan yang rusak ini, mengakibatkan perilaku yang menyimpang bagi
sebagian kaum muslim, misalnya wanita muslimah tidak merasa berdosa
ketika menikah dengan laki-laki kafir dengan alasan persamaan agama
(semua agama itu sama,
red)
b. Kebebasan berpendapat (
fredom of speech)
Di Belanda, tahun 2004, Theo van Gogh membuat film yang melecehkan
Islam. Masih di Belanda, Geert Wilders, anggota Parlemen Belanda dari
Partai Kebebasan, juga menghina Islam melalui berbagai pernyataan,
tulisan dan film yang dibuatnya.
Kita tentu juga masih ingat ketika
surat kabar Jyland Posten memuat
kartun Nabi diterbitkan pada
30 September 2005.
Jyllands Posten adalah surat kabar terbesar di
Denmark.
Gambar kartun nabi Muhammad saw tersebut di buat oleh Kurt Westergaard.
2 tahun kemudian yakni tahun 2007, muncul kartunis lain dari Negara
Swedia yakni Lars Vilks menggambar nabi Muhammad saw sebagai satwa
haram.Kemudian setelahnya muncul film Innocence of Muslims, sebuah video
yang di buat oleh Sam Bacile.
Terkait film Innocence of Muslims, Amerika Serikat sebagai pengusung
utama ide demokrasi, walaupun mereka mengecam pembuatan video tersebut
dan mengatakan bahwa video tersebut tidak ada hubungannya dengan Negara
Amerika, namun yang aneh adalah ketika menteri luar negerinya Hilary
Clinton berkata :
"Bahkan kalaupun mungkin, negara kami punya
tradisi panjang kebebasan berekspresi yang dilindungi dalam konstitusi
dan hukum kami, dan kami tidak bisa menghentikan setiap warga negara
yang mengekspresikan pandangan mereka sekalipun itu tidak disukai," imbuhnya.
Di Amerika Serikat, dua tahun lalu, dalam rangka peringatan tragedi
WTC 9/11, sekte kecil agama Kristen di Florida, pimpinan Pastor Terry
Jones dari Gereja World Outreach Center, membakar al-Quran. Sementara
itu di bulan Oktober lalu film kartun
South Park juga menampilkan sosok Nabi saw dalam salah satu episodenya.
Ironinya, semua serangan terhadap Islam dan kaum Muslim di Barat
terjadi dengan alasan demokrasi dan kebebasan. Contoh, editor Charlie
Hebdo, Stephane Charbonnier mengatakan,
"Kami pikir mungkin akan ada
rasa hormat yang lebih untuk pekerjaan satir kami, hak kami untuk
mengejek. Kebebasan untuk memiliki tawa yang baik adalah sama pentingnya
dengan kebebasan berbicara." .
Semua itu menampakkan dengan jelas kepada kita bahwa demokrasi selalu
menerapkan standar ganda, khususnya untuk Islam dan kaum Muslim. Dengan
dalih kebebasan, Barat beramai-ramai melecehkan ajaran Islam dan
menghina Rasulullah saw.
Di sisi lain, mereka melarang tulisan atau propaganda yang menyerang
Yahudi dan Israel dengan dalih anti-Semit. Jika terkait Islam dan kaum
Muslim, maka demokrasi dan kebebasan berpendapat bahkan kebebasan
beragama, tiba-tiba saja menjadi tidak ada.
c. Kebebasan kepemilikan (
freedom of ownership)
Ide kebebasan kepemilikan yang dijadikan sebagai tolok ukur
perbuatan, mengakibatkan lahirnya para kapitalis yang membutuhkan
bahan-bahan mentah untuk menjalankan industrinya dan membutuhkan
pasar-pasar konsumtif untuk memasarkan produk-produk industrinya.
Hal inilah yang telah mendorong negara-negara kapitalis untuk
bersaing satu sama lain guna menjajah bangsa-bangsa yang terbelakang,
menguasai harta benda mereka, memonopoli kekayaan alam mereka, sekaligus
menghisap darah mereka dengan cara yang sangat bertolak belakang dengan
seluruh nilai-nilai agama, akhlak dan kemanusiaan.
Hal ini bisa kita lihat dari salah satu alasan kenapa Perancis
menyerang negara Mali di Afrika adalah karena faktor ekonomi yakni
kekayaan negara Mali. Mali adalah negeri yang kaya bahan tambang berupa
emas, phospat, kaolin, bauksit, besi, uranium dan banyak lainnya. Tidak
mengherankan kalau Eropa khususnya Perancis dan Amerika saling berebut
kekayaan alam Mali.
Perancis sendiri sangat membutuhkan Mali, sebagai negara penghasil
uranium di Afrika Barat. Dua pertiga listrik Prancis berasal dari tenaga
nuklir, memerlukan impor uranium yang signifikan dari negara tetangga
Niger. Sebagai produsen emas ketiga terbesar di Afrika Mali juga sangat
menggiurkan.
Keserakahan dan kerakusan negara-negara kapitalis yang luar biasa,
telah mengakibatkan berkobarnya bencana dan peperangan di antara bangsa
terjajah. Dengan begitu, negara-negara kapitalis tersebut dapat
menjajakan produk-produk industrinya, sekaligus mengembangkan industri
militernya yang bisa menghasilkan keuntungan besar.
d. Kebebasan bertingkah laku (
personal freedom)
Kebebasan berperilaku, juga telah menjadikan perempuan sebagai ajang
eksploitasi kapitalisme melalui perhelatan Miss Universe, Miss World dan
sejenisnya. Perempuan hanya dianggap sebagai komoditas dagang dan
pemuas nafsu laki-laki semata. Kebebasan semacam ini sama artinya dengan
meligitimasi kemaksiatan. pacaran misalnya, merupakan kebebasan
berperilaku yang harus dilindungi hak nya, bahkan ada sebagian orang tua
yang malu jika anak nya belum punya pacar.
Kebebasan ini juga melahirkan perilaku seks yang menyimpang, kita
bisa melihat bagaimana sekarang manusia sudah tidak malu lagi
memperkenalkan dirinya dihadapan umum sebagai pasangan homo/lesbi dan
juga waria yang merupakan perilaku lebih rendah dari binatang.
Liberalisme sama dengan binatang, bahkan lebih rendah dan hina.
Bagaimana Liberal tidak lebih rendah dan hina daripada binatang ? Seekor
ayam saja yang tidak berakal mengetahui bahwa jantan tidak boleh
mengawini jantan dan betina tidak boleh mengawini betina, lalu ada
manusia Liberal yang katanya berakal cerdas dan tinggi pula
pendidikannya hingga "bergelar profesor doktor" tidak paham soal
sesederhana itu, sehingga ia menghalalkan homosexual dan lesbianisme.
Bahkan gilanya, Dewan HAM PBB melegalkan Homosex dan Lesbi sebagai Hak
Asasi Manusia (HAM).
Kebebasan berperilaku juga menyuburkan kejahatan tindakan asusila. Harian
The Guardian (10/1)
menambahkan potret rusak negara kampiun demokrasi Inggris. Berdasarkan
sebuah studi dilaporkan hampir satu dari lima wanita di Inggris dan
Wales menjadi korban serangan seksual sejak berusia 16 tahun. Studi ini
juga menunjukkan ada sekitar 473 ribu orang dewasa yang menjadi korban
kejahatan seksual setiap tahun, termasuk di dalamnya ada 60 ribu sampai
95 ribu korban perkosaan.
Kondisi yang sama terjadi di negara demokratis lain di luar Amerika
dan Eropa, seperti India. Negara ini tergoncang dengan meninggalnya
mahasiswi kedokteran India berusia 23 tahun yang menjadi korban dari
serangan pemerkosaan brutal (16/12) oleh enam orang laki-laki di dalam
bis di New Delhi.
Demokrasi, Cacat Sejak lahir
Segala kerusakan yang dibawa oleh sistem demokrasi itu
sebenarnya tidak lepas dari sejarah kemunculannya yang memang sudah
cacat sejak lahir. Aqidah sekulerisme yang melahirkan demokrasi
merupakan aqidah hasil jalan tengah atau kompromi.
Karena itu, sudah saatnya umat islam mulai sekarang segera
mencampakkannya. Kaum Muslim harus kembali pada sistem Islam, kembali
pada syariah, kembali dalam naungan Khilafah Islamiyah; sebagaimana
selama berabad-abad pernah dialami oleh generasi kaum Muslim terdahulu.
Hanya dengan itulah, kemuliaan kaum Muslim di dunia maupun di akhirat
bisa diraih. Wallahu A'lam bisshowab