Sumber: hidayatullah.com
BAGAIMANA jika
kaum Kristen di Indonesia tidak lagi menggunakan kata ‘Allah’ dalam
Bibel dan ritual mereka, seperti diserukan sejumlah kelompok Kristen di
Indonesia? Jawabnya: tidak apa-apa. Sebab, kaum Kristen Barat, yang
menjadi sumber agama Kristen di Indonesia, juga tidak menggunakan kata
‘Allah’. Lagi pula, kata ‘Allah’ juga tidak dikenal dalam teks asal
kitab kaum Kristen, yang berbahasa Ibrani dan Yunani kuno.
Juga,
hingga kini, kaum Kristen pun terus berdebat tentang siapa nama Tuhan
mereka yang sebenarnya. Sebelumnya telah dipahami, bagaimana perdebatan
seputar nama “YHWH”; apakah itu nama atau sebutan Tuhan. Sebagian
Kristen mengklaim, YHWH adalah nama Tuhan, tetapi tidak diketahui dengan
pasti bagaimana menyebutnya, sehingga lebih aman dibaca ‘Adonai’. Dalam
Bibel bahasa Indonesia, YHWH diterjemahkan dengan ‘TUHAN’, dalam
sebagian Bibel edidi bahasa Inggris diterjemahkan menjadi ‘the LORD’.
Dalam bahasa Arab, YHWH dialihbahasakan menjadi ‘al-Rabb’. Pandangan
jenis ini dianut oleh Kristen mainstream yang diwakili oleh Lembaga
Alkitab Indonesia (LAI).
Tetapi, ada sebagian Kristen yang
secara tegas menyatakan, YHWH adalah nama Tuhan yang bisa dibaca dengan
‘Jehovah’ atau ‘Yahweh’. Di Indonesia, pandangan jenis ini diwakili oleh
sejumlah kelompok yang menolak penggunaan kata Allah, seperti Beit
Yeshua Hamasiakh. Dalam bahasa Inggris ada juga Bibel yang secara tegas
menyebutkan ‘YHWH’ dengan ‘Yahweh’, seperti The New Jerusalem Bible
menulis Keluaran 3:15: “God further said to Moses, “You are to tell the
Israelites, “Yahweh the God of your ancestors, the God of Abraham, the
God of Isaac and the God of Jacob, has sent me to you.” .....klik tajuk
Membaca
ayat tersebut, dipahami, bahwa Yahweh memang nama Tuhan Israel. Yahweh
adalah nama diri, yakni ungkapan “Yahweh the God of your ancestors…”.
Dalam Bibel versi LAI, ayat Bibel ini ditulis: “TUHAN, Allah nenek
moyangmu…”. Maknanya, “TUHAN” adalah Allah-nya nenek moyang bangsa
Israel. Padahal, “TUHAN” disitu bukan nama diri, tapi sebutan untuk
menyebut ‘Tuhan itu’ (the LORD).
Akan tetapi, kita akan
menemukan kejanggalan, jika membaca sejumlah ayat Bibel lain yang
menyandingkan kata Yahweh dan God (dalam edisi Inggris), juga kata TUHAN
dan Allah dalam Bibel versi Indonesia. Misalnya, The New Jerusalem
Bible menulis ayat Kejadian 2:8 sebagai berikut: “Yahweh God planted a
garden in Eden…” Dalam versi LAI, ayat itu ditulis: “Selanjutnya TUHAN
Allah membuat taman di Eden…”
Jadi, pada Keluaran 3:15 tertulis
“Yahweh the God….” atau dalam edisi Indonesia: “TUHAN, Allah nenek
moyangmu…” (ada tanda koma setelah TUHAN). Lebih jelas lagi, bisa
disimak teks Ulangan 6:4 yang berbunyi: “Dengarlah hai orang Israel:
TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa.” (Bandingkan dengan teks Keluaran
6:4 versi Kitab Suci: Indonesian Literal Translation: “Dengarkanlah hai
Israel, YAHWEH Elohim kita, YAHWEH itu Esa.”)
Sementara itu,
dalam Kejadian 2:8 dan banyak ayat Bibel lainnya, tertulis “Yahweh
God…” dan “TUHAN Allah” tanpa tanda koma lagi. Bentuk “TUHAN Allah”
menyiratkan, bahwa “TUHAN” – yang merupakan terjemah dari tetragram
“YHWH” bukan lagi nama Tuhan. Jurtru, ‘Allah’ di situ, seolah-olah
merupakan nama Tuhan.
Yahweh bukan kata Benda
Persoalan
penggunaan nama Yahweh sebagai nama Tuhan dalam Kristen ternyata juga
dipersoalkan kalangan Kristen sendiri. Ada kalangan Kristen yang
berpendapat bahwa “YHWH” sebenarnya bukan nama Tuhan. Ensiklopedi
Perjanjian Baru, misalnya, menulis tentang Yahweh sebagai berikut:
“Inilah nama Ibrani yang berasal dari
kata hâwah: “datang, menjadi, ada”, menurut etimologi popular yang
terdapat dalam kisah pewahyuan. Nama yang diberikan Allah kepada
diri-Nya pada waktu penampakan yang dikenal dengan nama “di semak
bernyala” (Kel. 3:14). Diperdebatkan, apakah makna kata itu aktif (“dia
yang ada” – sebagaimana diterjemahkan oleh Septuaginta) atau kausatif
(“dia yang membuat ada”). Bagaimana pun juga, ini bukan kata ganti nama,
bukan kata benda, melainkan kata kerja aksi yang menggambarkan
aktivitas Allah sendiri. Istilah ini tidak mengungkapkan identitas Allah
melainkan menunjukkan Allah dalam aktivitas-Nya yang setia dan selalu
ada bagi umat-Nya. Menurut para ahli bahasa, kata ini berhubungan dengan
bentuk Yau yang di Babel menunjukkanAllah yang disembah manusia yang
bernama demikian; begitulah ibu Musa bernama Yô-kèbèd:
“kemuliaan-Yô”.(Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 591-592).
Perlu digarisbawahi, menurut penulis Ensiklopedi Perjanjian Baru
tersebut, YHWH “bukan kata ganti nama, bukan kata benda, melainkan kata
kerja aksi yang menggambarkan aktivitas Allah sendiri.” Pandangan bahwa
YHWH bukan kata benda, dijelaskan oleh The New Jerusalem Bible:
“Clearly, however, it is part of the Hebr. verb ‘to be’ in an archaic
form. Some see it as a causative form of the verb: ‘ he causes to be’,
‘he brings into existence’. But it is much more probably a form of the
present indicative, meaning ‘he is’.” (The New Jerusalem Bible, foot
note Keluaran 3:14, hal. 85).
Shabir Ally dalam bukunya, “Yahweh, Jehovah or Allah, Which is God’s Real Name?” memberikan komentar terhadap penjelasan The New Jerusalem Bible tersebut: “If
Yahweh means ‘he is’, how can that be the name of God? When, for
example, a Muslim says, “I believe in Allah as He is, “clearly in that
statement God’s name is not ‘he is’. God’s name in that statement is
‘Allah’. Notice that if you say that God’s name is Yahweh, you are in
effect saying that God’s name is he is. That does not make any sense,
Does it?” (hal. 20).
Lebih jauh, kata YHWH muncul dalam
statemen Tuhan kepada Musa dalam Keluaran 3:14; saat Musa bertanya
tentang nama-Nya, lalu Tuhan menjawab yang dalam bahasa Ibrani ditulis: “ehyeh esher ehyeh.” (I
am what I am). Jawaban ini mengindikasikan seolah-olah Tuhan enggan
memberikan nama-Nya kepada Musa. Untuk itulah, dimasukkan kata Yahweh
yang maknanya “he is”. Karena itulah, simpulnya, “the name of Yahweh is derived through human effort, not expressly revealed by God.” Pada sisi lain, adalah menarik mencermati penjelasan tentang Yahweh dalam berbagai versi teks Bibel.
Pertama, versi King James Version, Keluaran 6:2-3:
“And God spoke unto Moses, and said unto him, I am the LORD. And I
appeared unto Abraham, unto Isaac, and unto Jacob, by the name of God
Almighty, but by my name JE-HO-VAH was I not known to them.”Kedua, versi
The New Jerusalem Bible, Keluaran 6:2-3: “God spoke to Moses and said
to him, ‘I am Yahweh’. To Abraham, to Isaac and Jacob I appeared as El
Shaddai, but I did not make my name Yahweh known to them.”
Ketiga,
versi Kitab Suci Indonesian Literal Translation, Keluaran 6:2-3: “Dan
berfirmanlah Elohim kepada Musa, “Akulah YAHWEH. Dan Aku telah
menampakkan diri kepada Abraham, kepada Ishak dan kepada Yakub, sebagai
El-Shadday, dan nama-Ku YAHWEH; bukankah Aku sudah dikenal oleh mereka?”
Keempat, versi Lembaga Alkitab Indonesia
(2007), Keluaran 6:1-2: “Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa:
“Akulah TUHAN, Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan
Yakub sebagai Allah Yang Maha Kuasa, tetapi dengan nama-Ku TUHAN Aku
belum menyatakan diri.”
Kelima, versi Lembaga
Alkitab Indonesia (1968), Keluaran 6:1-2: “Arakian, maka berfirmanlah
Allah kepada Musa, firmannja: Akulah Tuhan! Maka Aku telah menyatakan
diriku kepada Ibrahim, Ishak dan Jakub seperti Allah jang Mahakuasa,
tetapi tiada diketahuinja akan Daku dengan namaku Tuhan.”
****
Bisa dicermati, terjemah Keluaran 6:2-3 versi Indonesian Literal
Translation yang menyebutkan “bukankah Aku sudah dikenal oleh mereka?”
seperti menyimpang jauh dari teks-teks lain. Teks Kitab Keluaran ini
menjelaskan bahwa nama ‘Yahweh/Jehovah/TUHAN/Tuhan’ belum diketahui oleh
Ibrahim,Isak dan Yakub. Sementara itu, Kitab Kejadian 26:25, sudah
menyebutkan, bahwa Ishak sudah kenal nama Yahweh. The New Jerusalem
Bible menulis: “There he built an altar and invoked the name of
Yahweh.” King James Version menyamarkan nama Yahweh: “And he builded an
altar there, and called upon the name of the LORD.” Bibel versi LAI
menulis ayat ini: “Sesudah itu Ishak mendirikan Mezbah di situ dan
memanggil nama TUHAN.” Sedangkan Kitab Suci Indonesian Literal
Translation menulisnya: “Dan dia mendirikan mezbah di sana, dan
memanggil Nama YAHWEH.”
Jadi, menurut Kejadian 26:25 tersebut,
Ishak sudah mengenal dan menyebut nama Yahweh. Sementara dalam Keluaran
6:1-2 dijelaskan, bahwa nama Yahweh belum dikenal oleh Abraham, Ishak,
dan Yakub. Bibel versi Lembaga Alkitab Indonesia (2007), menulis: “…
Akulah TUHAN, Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub
sebagai Allah Yang Maha Kuasa, tetapi dengan nama-Ku TUHAN Aku belum
menyatakan diri.”
Adalah juga menarik memperhatikan terjemahan
teks Keluaran 6:1-2 versi Lembaga Alkitab Indonesia edisi tahun 1968,
yang ternyata menerjemahkan tetragram ‘YHWH’ dengan ‘Tuhan’, bukan
‘TUHAN’. Ini menunjukkan adanya diskusi dan perkembangan soal nama
Tuhan yang terus berubah dalam tradisi Kristen. Cara penerjemahan LAI
terhadap YHWH itulah yang menuai kritik dari kelompok pendukung nama
Yahweh, karena menimbulkan kerancuan makna.
Misalnya, terjemahan
LAI untuk Matius 4:4 adalah: “Tetapi Yesus menjawab: “Ada tertulis:
Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang
keluar dari mulut Allah.” Dalam kasus ini, YHWH diterjemahkan menjadi
Allah, bukan TUHAN. Menurut Rev. Yakub Sulistyo, penggunaan kata ‘Allah’
oleh LAI adalah bentuk penyalahgunaan kata Allah dan bisa menimbulkan
konflik dengan orang Muslim. Yakob Sulistyo menulis:
“Dengan umat Kristen memakai kata “ALLAH,
atau Allah, atau allah” maka muncul istilah Allah Bapa, Allah Anak dan
Allah Roh, serta Bunda Allah bagi kalangan Katolik. Dan ini menyakiti
hati umat Islam dan menimbulkan rasa tidak suka, karena nama Tuhannya
dipakai oleh umat Kristen dan Katolik…. Jadi kebingungan masalah nama
ALLAH dan YHWH (YAHWEH) adalah karena orang Nasrani di Indonesia tidak
mampu membedakan antara SEBUTAN (GENERIC NAME) dan NAMA PRIBADI
(PERSONAL NAME).” (Lihat, Rev. Yakub Sulistyo, ‘Allah’ dalam
Kekristenan Apakah Salah, 2009, hal. 18-19. NB. Huruf kapital sesuai
buku aslinya).
Kalangan Kristen pendukung penggunaan kata ‘Allah’ beralasan, bahwa
kaum Kristen di Arab sudah menggunakan kata ‘Allah’ jauh sebelum Nabi
Muhammad SAW diutus sebagai Nabi oleh Allah SWT. Herlianto menulis:
“Di kalangan orang Arab pengikut Yesus,
penggunaan nama ‘Allah’ sudah terjadi sejak awal kekristenan. Pada
Konsili Efesus (431) wilayah suku Arab Harits dipimpin Uskup bernama
‘Abd Allah’, Inkripsi Zabad (512) diawali ‘Bism, al-llah’ (dengan nama
Allah, band. Ezra 5:1, demikian juga Inkripsi ‘Umm al-Jimmal’ (abad
ke-6) menyebut ‘Allahu ghufran’ (Allah yang mengampuni)… Nama ‘Allah’
bukanlah kata ‘Islam’ melainkan kata ‘Arab’ sebab sudah digunakan sejak
keturunan Semitik suku Arab yang menyebut ‘El’ Semitik dalam dialek
mereka, dan juga digunakan orang Arab yang beragama Yahudi dan Kristen
jauh sebelum kehadiran Islam… Kalau mau jujur, nama Ilah/Allah
sebenarnya bukan merupakan terjemahan El/Elohim Ibrani dan Elah/Elaha
dalam bahasa Aram, melainkan merupakan dialek (logat) yang berkembang
dalam suku-suku turunan mereka. Jadi, transliterasi nama El/Elohim/Eloah
menjadi Ilah/Allah justru lebih dekat dibandingkan istilah Yunani Theos
dan Inggris God.” (Herlianto, Nama Allah, Nama Tuhan Yang
Dipermasalahkan, Mitra Pustaka, 2006, hal. 26-27).
Bagaimana pandangan Islam terhadap klaim kaum Kristen soal kata ‘Allah’ tersebut?
Islam
mengakui, kata ‘Allah’ – sebagai nama Tuhan -- sudah digunakan oleh
kaum musyrik Arab dan kaum Kristen. Tetapi, setelah diutusnya Muhammad
SAW sebagai Nabi terakhir dan diturunkannya al-Quran sebagai wahyu
terakhir, maka Allah telah mengenalkan namanya secara resmi dalam bahasa
Arab, yaitu ALLAH: “Innaniy ana-Allahu Laa-ilaaha illaa Ana, fa’budniy
wa-aqimish-shalaata lidzikriy.” (Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan
selain Aku, maka sembahlah Aku dan tegakkan shalat untuk mengingat-Ku).
(QS Thaha:14).
Tak hanya itu, Al-Quran juga mengkoreksi
penggunaan dan pemaknaan kata Allah yang keliru oleh kaum Kristen,
sehingga Allah diserikatkan dengan makhluk-Nya, seperti Nabi Isa a.s.
yang oleh kaum Kristen diangkat sebagai Tuhan. “Sungguh telah kafirlah
orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang
tiga.” (QS 5:73).
Logika Islam sangat mudah: Jika ingin tahu nama
Tuhan yang sebenarnya, sifat-sifat-Nya, dan cara yang benar dalam
menyembah-Nya, maka – logisnya -- hanya Tuhan itu sendiri yang dapat
menjelaskannya. Tidak usah bingung, tidak perlu repot-repot dan tanpa
berbelit-belit. Nama Tuhan itu adalah ALLAH. Pakai huruf kecil atau
kapital, nama Tuhan yang sah adalah ALLAH. Tuhan sudah memilih nama-Nya
yang resmi. Nama itu sudah disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, nabi
akhir zaman yang diutus kepada seluruh manusia, bukan hanya untuk Bani
Israil saja (QS 34:28).
Maka, dalam pandangan Islam, amat
sangat tidak patut, jika kata ALLAH – nama Tuhan Yang Maha Suci --
digunakan secara sembarangan dan diberi sifat-sifat yang tidak sesuai
dengan sifat yang dikenalkan oleh Allah SWT itu sendiri. Karena itulah,
kaum Muslim sangat takut melakukan dosa syirik atau pun
mengarang-ngarang nama Tuhan atau mereka-reka cara-cara ibadah kepada
Allah SWT.
Seperti dijelaskan oleh Lembaga Alkitab Indonesia
(LAI), kaum Kristen di alam Melayu-Indonesia baru menggunakan kata Allah
pada abad ke-17. Seyogyanya kaum Kristen tidak perlu melanjutkan
ambisi kaum penjajah untuk mengelabui kaum Muslim agar berpindah agama
melalui penggunaan kata Allah yang tidak sepatutnya.
Karena itu,
menyimak kebingungan dan polemik penggunaan kata Allah di kalangan kaum
Kristen di Indonesia yang tiada ujung, tampaknya akan lebih baik
ANDAIKAN kaum Kristen di alam Melayu-Indonesia, meninggalkan kata
‘Allah’ dan menyebut Tuhan mereka sebagaimana induk dan asal agama
Kristen di Barat, yaitu God, Lord, Yahweh, Elohim, atau TUHAN.
InsyaAllah itu akan lebih baik dan tidak membingungkan di antara kaum
Kristen dan umat beragama lainnya. Wallahu a’lam./Bojonegoro, 30 Januari 2013.*
Penulis Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com