main |
sidebar
BETAPA sedih
rasanya jika menatap realiti kaum Muslimin dewasa ini. Mereka
diselimuti oleh kemiskinan ideologi, moral, dan material. Mereka telah
terjangkiti virus hubbud dunya wa karahiyatul maut (kecintaan secara berlebih-lebihan terhadap dunia dan takut mati). Mereka berbuat zhalim karena
miskin iman. Dan mereka sering melakukan tindakan yang tidak terkontrol
kerena miskin ilmu. Pemimpin mereka mengajarkan bahwa ilmu adalah
cahaya, sedangkan kebodohan adalah kegelapan.. Mereka tidak peduli
dengan nasihat para Nabinya, sehingga mereka kurang wawasan, maka
gelaplah pikiran dan mata hati mereka dalam mengelola problem yang di
hadapi....klik tajuk/ sini
Mereka bukanlah penguasa-penguasa di bumi seperti yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Umat Islam yang dijuluki khairu ummah (umat
yang paling baik), hanyalah sebagai mainan kecil/bola pimpong di tangan
kaum kafir dan musyrik. Keberadaan kaum Muslimin belum berhasil
menjadikan diri mereka gambaran Al-Quran yang berjalan secara kongkrit
yang bisa disaksikan orang lain. Bahkan, mereka adalah manusia-manusia
yang memiliki kelayakan untuk dijajah (qabiliyyah littakhalluf). Jadi, bukanlah musuh yang terlalu kuat untuk dihadapi, tetapi kaum Musliminlah yang kehilangan elan vital, spirit jihad.
Kaum Muslimin kontemporer bukanlah pahlawan ilmu pengetahuan, sekalipun al-Quran memberikan perintah pertama kali, iqra'
(bacalah). Mereka bukanlah orang yang berkepala dingin dalam mengelola
konflik, sekalipun mereka telah membaca surat Asy Syura. Mereka bukanlah
orang yang kuat dalam aspek militer, sekalipun kitab mereka
memerintahkan untuk mempersiapkan kekuatan. Mereka bukanlah orang yang
pandai berbisnis, sekalipun pasca Jum’atan diintruksikan untuk
bertebaran di muka bumi. Alangkah jauhnya jarak kaum Muslimin dengan
kitab sucinya?
Gerangan apakah yang menjadikan pendahulu mereka menguasai hampir
separo dunia? Gerangan apakah yang mengubah para penunggang onta di
gurun sahara yang sunyi dan gersang menjadi referensi/rujukan pahlawan
ilmu dan peradaban dunia? Gerangan apakah yang mengubah suku-suku yang
hobi minum-minuman, perang karena dipicu persoalan sepele, makan riba,
main perempuan, merampok, menjadi komunitas yang disegani oleh kawan dan
lawan? Gerangan apa pula yang membuat penggembala-penggembala yang
bodoh menjadi penakluk-penakluk Kekaisaran Persia dan Bizantium?
Langkah Fundamental
Perhatikanlah, apakah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wassalam untuk melahirkan revolusi menakjubkan ini dalam jangka
waktu kurang dari ¼ abad. Yang paling utama dan pertama-tama yang
dilakukan oleh manusia pilihan itu adalah menanamkan di dalam hati
pengikut-pengikutnya kalimatut taqwa, kalimat thayyibah, kalimatun sawa, kalimatut tauhid, qaulun tsabitun : “laa Ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah”.
Beliau mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada tuhan yang layak
disembah dan dipuja selain Allah Subhanahu Wata’ala. Selain Allah
Subhanahu Wata’ala adalah makhluk yang hina (dzalil), bodoh (jahil),
faqir (membutuhkan orang lain), ‘ajiz (lemah, tidak kuat
menahan ngantuk jika sudah tiba). Betapapun luasnya kekuasaan,
keberlimpahan harta, ketinggian ilmu, dan kuatnya pengaruh mereka.
Mereka adalah makhluk yang kecil, remeh, tidak berdaya, tidak ada
apa-apanya di hadapan Al-Khaliq, Al-‘Alim, Al-Akram. Semua manusia
memiliki kedudukan yang sama. Ukuran seseorang tidak ditentukan oleh
asesoris lahiriyah. Misalnya, kekayaan yang dimiliki, kekuasaan yang
digenggam, luasnya wawasan dan ilmu serta pengaruh keturunan (darah
biru). Yang paling mulia disisi-Nya hanyalah orang yang bertakwa. [QS:
Al Hujurat (49) : 13].
Kalimat tauhid tersebut di atas menanamkan sikap harga diri kaum
Muslimin awal. Dan pada saat yang bersamaan tercerabut rasa rendah diri.
Hilang jiwa kerdil, dan tertanamlah jiwa besar. Hilang sikap jumud,
terbukalah wawasan yang baru, luas tak bertepi. Para pengikut Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wassalam yakin secara bulat bahwa kemuliaan itu
adalah milik Allah, Nabi-Nya dan para mukmin.
Begitu rasa rendah diri lenyap, bersemayamlah di dalam hati mereka
identitas yang konstruktif. Mereka bangga bukan karena kelebihan yang
mereka miliki, potensi diri yang hebat, dan backing dari kekuatan
tertentu, tetapi karena keyakinan yang kuat kepada kebesaran dan
keagungan Allah Subhanahu Wata’ala
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu
bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi
(derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran (3) : 139).
Kita semua tahu dari sejarah Islam, bagaimana sahabat yang berasal
dari orang Arab dusun Rabi’ bin Amir berdiri dengan gagah berani di
hadapan Kaisar Romawi, dengan meyakinkan menampakkan kebanggan berislam,
tanpa rasa minder sedikitpun, menolak keharusan bersujud di hadapan
raja, sekalipun hanya mengendarai keledai kecil dan pakaian sederhana.
Ketika Kaisar Romawi bertanya dengan penuh keheranan, beliau
menjawab: “Aku diutus untuk membebaskan manusia dari penyembahan kepada
sesama manusia menuju penyembahan kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan
membebaskan mereka dari kesempitan agama menuju keluasan agama.”
Kita tahu bagaimana Umar bin Khathab menolak pakaian-pakaian raja
yang diberikan kepadanya ketika ia memasuki Yerusalem sebagai penakluk
yang gagah berani. Ia mengatakan, sesungguhnya islam sudah cukup
memberikan kemuliaan kepada diri saya. Bukan bersumber dari atribut
lahiriyah.
Dari dua kisah tadi, kita dapat mengambil pelajaran penting bahwa
kaum Muslimin pertama tidak terpesona dan silau oleh kegemerlapan
duniawi, syahwat politik, syahwat perut dan syahwat di bawah perut (syahwatul farji).
Kiat Mengembalikan Harga Diri
Jika kaum Muslimin sekarang ingin mewarisi kepemimpinan/penghulu
dunia, mareka harus meraih kembali harga diri/identitas yang hilang.
Yaitu dengan memperbaharui daya serap terhadap hakikat kalimat tauhid,
laa ilaha illallah. Banyak diantara kita yang terpesona dengan kebesaran
lahiriyah. Terkagum-kagum dengan akselerasi sain dan teknologi bangsa
lain.
Sehingga kita lupa bahwa kita adalah Muslim/mukmin yang lebih unggul di hadapan Allah Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Yang lebih ironis, sebagian kaum Muslim menyembunyikan keimanannya.
Seakan-akan keyakinan itu urusan pribadi, dan mengganggu orang lain.
Kadang merendahkan kalimat salam, hanya karena takut dikenali sebagai
Muslim. Mereka ragu/skeptis bahwa ajaran Islam adalah sumber kemuliaan
dan kejayaan di dunia ini dan di akhirat.
Lihatlah ghirah keislaman Ibnu Masud, yang dikenal seorang ‘alim al-Muqri’ (penghafal
al-Quran) dari kalangan sahabat. Dialah orang yang pertama membacakan
Al-Quran kepada kaum kafir setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wassalam. Setelah kaum kafir bersepakat melarang orang mendengarkan
Al-Quran, para sahabat berkumpul di suatu tempat. Mereka membahas
situasi dan berkesimpulan bahwa salah seorang diantara mereka harus
membacakan Al-Quran di hadapan kerumunan dan hiruk pikuk para kuffar
dengan kesiapan menanggung resiko yang tidak mudah dan sederhana.
Ternyata, Ibnu Masud yang berkaki kecil itu bersedia melakukannya.
Sahabat-sahabat yang lain menolaknya dengan mengatakan : Kami merasa
khawatir tentang dirimu. Yang kami perlukan adalah seseorang yang
didukung oleh keluarga-keluarganya yang memiliki akses ekonomi dan
kekuasaan kabilah Quraisy sehingga meminimalisir penyiksaan kaum kafir.
Sekalipun beliau saat itu kurang dikenal, tetapi bersikeras untuk
melaksanakan tugas. Beliau pergi ke pasar dan membaca Al-Quran dengan
suara keras. Maka, orang-orang kafir menyiksanya. Dan beliau kembali
kepada keluarganya dengan wajah berlumuran darah.
Para sahabat bertanya, Inilah yang kami khawatirkan? Abdullah
menjawab;”Kaum kafir itu belum pernah sedemikian hina di mataku kecuali
untuk hari ini. Jika kalian sudi, saya akan mengatakan hal yang sama di
hadapan mereka besok atau lusa. Tidak, anda salah membacakan kepada
mereka apa yang mereka benci.”
Pernyataan Abdullah itu menggambarkan pengaruh/efek dari
tauhid/aqidah yang sangat mendalam (atsarun fa’aal) dalam kehidupannya.
Sekarang ini, ketika semua filsafat gagal menuntun manusia menuju pintu
kebahagiaan, kita merindukan Ibnu Mas’ud, Ibnu Mas’ud pada abad 20.
Yaitu, disamping bangga sebagai Muslim, hamba Allah Subhanhu Wata’a,
pula siap menanggung resika yang paling pahit demi keimanan yang
diyakininya.
Kita perlu meraih kembali identitas Muslim yang telah hilang. Agar
tidak mudah silau dengan kemegahan dunia lain. Dan kita tanamkan kembali
bahwa sumber kemuliaan yang tidak akan pernah kering oleh perputaran
peradaban adalah berasal dari Allah, Rasul-Nya dan kaum beriman sendiri.
Bukan atribut yang diimpor dari asing. Di bawah naungan-Nya, rahim
Islam pernah melahirkan para pahlawan yang patriotik.
Dengan meraih kembali harga diri itu, kaum Muslimin akan bersikap
tegas terhadap orang kafir dan kasih sayang kepada orang-orang beriman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ
فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي
سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ
يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang
murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah
lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut
kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS: Al Maidah (5) : 54).
Sumber Kemuliaan Hakiki
Umat Islam diajarkan untuk tidak bangga dengan atribut yang semu,
kebanggaan etnis, kekayaan, warna kulit, asesoris lahiriyah. Karena hal
itu akan membawa kehancuran dan penyesalan tiada akhir. Tetapi, Islam
mengajarkan pemeluknya untuk bangga menjadi hamba Allah yang taat, patuh
terhadap hukum-Nya. Tidak meletakkan dahi kepada siapapun. Karena dahi
ini hanya layak diletakkan untuk ta’zhim dan hurmat kepada Zat Yang Maha
Kuat dan Maha Perkasa. Kebanggan terakhir ini akan mendatangkan
kemuliaan dan kemenangan.
Sesungguhnya pemilik kekuasaan tanpa pensiun dini, kekayaan yang
tidak pernah habis, ilmu yang tidak pernah kering, hanyalah Allah
Subhanahu Wata’ala. Dia berkuasa menurunkan orang yang tadinya memiliki
kedudukan tinggi menjadi hina dalam sekejap. Dan Dia berkuasa mengangkat
seseorang yang tidak diperhitungkan, orang kecil, menjadi mulia dalam
waktu yang singkat pula. Kekuasaan, harta, ilmu, yang dimiliki oleh
manusia hanyalah hak guna dan hak pakai. Bukan hak milik. Kita perlu
muhasabah, bukan sekedar mempertanyakan apakah kepemilikan kita itu
sudah sah secara formal, tetapi apakah yang menjadi milik kita menambah
kebaikan diri kita dan bermanfaat untuk banyak orang (barakah)?
Apakah jabatan kita memuliakan kita? Apakah harta kita menambah
kebaikan keluarga kita? Apakah ilmu kita dirasakan manfaatnya oleh
banyak orang? Apakah pengaruh kita semakin mendekatkan diri kita kepada
Allah Subhanahu Wata’ala? Apakah anak dan isteri kita sebagai sumber
kebahagian dan ketenteraman kita?
Ahli sastra Arab mengatakan: "Jika engkau membawa keranda ke
kuburan ingatlah suatu ketika engkau akan digotong. Dan jika engkau
diserahi urusan kaum ingatlah suatu saat engkau akan dimakzulkan
(dilengserkan)".*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
0 Comments:
Post a Comment