main |
sidebar
Hidayatullah.com
KALAU ada
orang bercakaran karena merebut harta itu biasa. Tetapi kisah ini
sangat luar biasa. Ada dua orang berbantah-bantahan soal harta tapi bukan untuk
saling rebut, tetapi saling memberikan, karena merasa bukan haknya.
Kisah ini disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu dan termaktub
dalam Kitab Shahih Imam Muslim.
“Ada seseorang membeli ladang dari orang lain. Kemudian orang itu
menemukan sebuah pundi-pundi berisi emas dari ladang tersebut. Pembeli
itu mengembalikan pundi-pundi itu ke si penjual. Sedang si penjual
menolak karena merasa bukan miliknya. Katanya: “Ambillah! Tapi pembeli
itupun menolak dengan berkata: ‘Aku hanya membeli ladang. Bukan membeli
emas itu.”
Keduanya tetap tak mau menerima harta itu. Karena si penjual pun
menyatakan bahwa dia menjual ladang dengan segala isinya. Akhirnya
mereka pergi kepada seorang yang sholeh untuk membantu memecahkan
persoalan ini.
Hakim yang ditunjuk mereka itu kemudian bertanya pada masing-masing,
apakah mereka mempunyai anak. Ternyata ada. Yang satu mempunyai anak
laki-laki, sedang yang lain mempunyai anak perempuan. Hakim kemudian
berkata: “Kawinkan keduanya. Pakailah pundi itu sebagai biaya untuk
menyelenggarakan pernikahan itu.”
Kisah tersebut benar-benar luar biasa. Keduanya tidak mau menerima
harta yang bukan haknya, bukan hasil jerih payah mereka. Keduanya justru
takut jika itu malah menggoyahkan, mengancam akhlak dan moral, serta
mengganggu ketentraman jiwanya, yang merupakan inti dan hakikat
kebahagiaan hidup
Demikianlah seharusnya seorang Muslim melihat harta. Tidak asal dapat,
tapi diperhatikan dulu, apakah harta itu hak atau tidak. Sebab jika
bukan hak, harta itu malah akan merusak kekayaan sejati kita berupa iman
dan ketenteraman jiwa. Lihatlah para koruptor, sekalipun wang mereka
banyak, tapi mereka tak tenang bahkan kelak akan disiksa karena makan
harta yang bukan haknya.
Tauladan Sahabat Nabi yang Kaya.
Ada dua sahabat Nabi yang kaya raya, yakni Utsman bin Affan dan
Abdurrahman bin Auf. Keduanya tidak menjadi sombong karena harta,
apalagi serakah untuk terus menambah koleksi hartanya. Malah gelisah,
jika harta yang berlebihan itu yang sejatinya amanah Allah tidak dapat
dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, keduanya selalu memanfaatkan harta yang dimiliki
untuk kepentingan Islam dan kebahagiaan umatnya. Menjadi sesama Muslim
agar menjadi orang-orang yang mandiri dan terhormat, sehingga umat Islam
menjadi unggul di atas umat-umat yang lain.
Utsman bin Affan radhiyallahu anhu pernah meringankan kesulitan
penduduk Madinah. Saat itu musim kemarau melanda. Kebutuhan air
meningkat sementara tidak ada persediaan air lagi. Satu-satunya cara
untuk bisa mendapat air adalah dengan membeli sumur dari seorang Yahudi
yang kejam.
Melihat situasi tersebut Rasulullah bersabda, “Siapa kiranya yang sudi membantu meringankan beban kaum Muslimin ini?”
Mendengar demikian, spontan Utsman bin Affan membeli sumur itu dari
tangan si Yahudi dengan harga yang sangat mahal. Utsman tidak pernah
merasa rugi dengan keputusan tersebut. Karena dalam pemahamannya, harta
bukan untuk disimpan tetapi dimanfaatkan untuk kepentingan umat.
Demikian pula halnya dengan Abdurrahman bin Auf. Ia tidak pernah
tanggung dalam memberikan harta untuk kemaslahatan umat. Pernah ia
memberikan 700 ekor unta yang dimilikinya beserta segala muatannya untuk
kepentingan umat Islam. Setiap hari Abdurrahman bin Auf memikirkan
hartanya jangan sampai ada yang tidak termanfaatkan di jalan Allah.
Jadi, seorang hartawan tidak seharusnya jatuh dalam kenistaan karena
menganggap harta yang disimpan lebih membahagiakan daripada dibelanjakan
di jalan Allah. Sungguh tercela seorang hartawan yang dalam hidupnya
memilih meribakan uang, memonopoli perdagangan, dan mempermainkan harga
serta tenaga kaum lemah yang menimbulkan keresahan masyarakat. Apalagi
memeras tenaga buruh, hingga mereka tidak dapat menunaikan kewajiban
agamanya.
Keteladanan Umar bin Abdul Aziz
Selain orang kaya, penguasa termasuk orang yang memiliki kelapangan
harta. Tetapi lain halnya dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ia tak
pernah memanfaatkan harta yang bukan haknya untuk kepentingan diri dan
keluarganya.
Suatu hari khalifah meminta pelayannya untuk memanaskan air untuknya,
supaya ia bisa berwudhu di hari yang sangat dingin, dengan cepat si
pelayan kembali setelah memanaskan airnya, lalu khalifah bertanya, “Di
mana kamu panaskan air secepat itu?
Pelayannya pun menjawab, “Aku memanaskannya di dapur umum”. Dapur
umum didirikan Umar untuk memenuhi hajat kaum Muslimin yang dibiayai
dari Baitul Mal. Khalifah Umar pun memarahi pelayannya atas perbuatannya
itu.
Khalifah pun tak menyentuh sedikitpun air panas itu sampai pelayan
itu pergi untuk membayar harga dari sekedar menumpang memanaskan air.
Jadi, tidak seharusnya seorang penguasa memanfaatkan jabatannya
sebagai alat memperkaya diri dan keluarga. Bergaya hidup mewah, boros
dan kikir. Karena bagaimanapun, kewenangan yang dimiliki untuk
memanfaatkan harta rakyat sekalipun tidak diperiksa oleh pengadilan,
kelak pasti akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Subhanahu Wa
ta’ala.
Oleh karena itu dalam kitabnya Ihya Ulumuddin Imam Ghazali berpesan
agar seorang penguasa atau pejabat negara harus berhati-hati dengan
harta yang bersumber dari kas negara yang dikumpulkan dari pajak dan
hasil ekspor. Karena hakikatnya harta itu adalah untuk kepentingan
rakyat bukan penguasa.
Keutamaan Dermawan dan Tercelanya Kekikiran
Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin berkata, “Ketahuilah bahwa jika
kamu tidak memiliki harta, maka sikapilah dengna qana’ah. Sedangkan jika
kamu memilikinya, maka sikapilah dengan mendahulukan orang lain,
dermawan dan tidak pelit.
Kemudian Imam Ghazali mengutip hadits Nabi, “Sifat dermawan adalah
salah satu pohon dari pepohonan surga yang dahannya terjuntai hingga ke
tanah. Barangsiapa yang mengambil sehelai dahannya, maka dahan itu akan
menuntunnya ke surga”.
Artinya, Muslim yang mendapat anugerah harta berlebih semestinya
membagikan hartanya untuk kepentingan umat Islam. Bukan malah menyimpan
dan terus menerus berusaha menambahnya tanpa peduli terhadap sesama
alias kikir atau bakhil.
Siapa yang kikir tentu keberuntungan akan menjauh darinya.
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS: Al Hasyr [59]: 9).
Dan, siapa yang tetap bakhil, kelak akan merasakan siksa yang memberatkan.
وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن
فَضْلِهِ هُوَ خَيْراً لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا
بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ
وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang
Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan
itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi
mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat.” (QS: Ali Imron [3]: 180).
Sifat kikir orang kaya dan penguasa akan berakibat pada kekacauan atau kerusuhan sosial. Rasulullah bersabda,
“Waspadalah dari sifat kikir. Sesungguhnya orang-orang sebelummu binasa
karenanya. Sifat kikir membuat mereka saling membunuh dan menghalalkan
apa yang diharamkan bagi mereka.” (HR. Ahmad).*/Imam Nawawi
0 Comments:
Post a Comment