Dikutip dari buku Da’wah Al-Muqawwamah Al-Islamiyyah
Al-‘Alamiyyah’ atau Perjalanan Gerakan Jihad (1930 – 2002) Sejarah,
Eksperimen, dan Evaluasi. eramuslim.com
Doktrin Murji’ah muncul bersamaan dengan kemunculan ulama penguasa,
yaitu saat sistem monarki lahir dan
sistem khilafah lenyap. Di sini,
terjadi pemisahan antara penguasa dan Alquran.
Akidah menyimpang ini secara ringkas bisa digambarkan bahwa iman
adalah pembenaran dengan hati dan pernyataan dengan lisan saja. Para
penganut doktrin ini tidak memasukkan amal dari bagian makna iman.
Mereka berkata: iman adalah pembenaran dan kemaksiatan tidak akan
membahayakan iman. Barangsiapa yang mengucapkan kalimat syahadat ‘
laa ilaaha illallah’ kami hukumi Islam, tanpa peduli apa yang ia katakan atau perbuat setelahnya.
Mereka mengesampingkan semua kaidah
nawaqidhul iman (hal-hal yang membatalkan iman) yang diterangkan oleh Al-Quran, Sunnah, dan pendapat-pendapat fuqaha yang terpercaya.
Ibnu Asakir meriwayatkan melalui jalur An-Nadhar bin Syumail,
berkata, “Saya masuk ke tempat Al-Ma’mun, lalu dia bertanya, ‘Bagaimana
kabarmu pagi ini, wahai Nadhar?’ Saya menjawab, ‘Baik-baik saja, wahai
Amirul Mukminin.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah Murji’ah itu?’ Saya
menjawab, ‘Murji’ah adalah agama yang menyesuaikan para raja. Mereka
mendapatkan kekayaan dunia dengan agama dan mengurangi agama mereka.’
Al-Makmun berkata, ‘Kamu benar.’”
Para fuqaha kerajaan mengambil doktrin tersebut hingga para ulama
peneliti mengistilahkan mazhab Murji’ah sebagai agama (keyakinan) yang
disukai para raja. Menurut mazhab ini, para penguasa tetaplah muslim,.....klik tajuk
mereka
waliyyul amr (pemegang urusan kita) yang berhak ditaati,
walaupun mereka merampas harta dan mencambuk punggung kita. Umat ini
tetap harus berkata, “Kami ridha.” Ya, mereka tetap muslim, walaupun
mengambil harta rakyat dan mencambuk punggung.
Fuqaha kerajaan itu lebih melonggarkan lagi kepada mereka dengan
tambahan; walaupun para penguasa melecehkan harga diri dan menumpahkan
darah kita; walau mereka berteriak dengan kata dan perbuatan seperti
para pendahulunya sesumbar, ‘Dan Fir’aun berseru kepada kaumnya (seraya)
berkata, ‘Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan
(bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak
melihat(nya)?” (Az-Zukhruf: 51)
Walaupun, para penguasa tersebut terang-terangan mengatakan
ketidakcocokan hukum syariah untuk zaman sekarang. Walaupun mereka
mengangkat pelindung dari musuh-musuh Allah. Walau mereka berperang dan
memberangkatkan tentara untuk berperang di bawah panji-panji Yahudi dan
Nasrani untuk membunuh muslimin. Dan walau…walau… yang lain.
Fuqaha kerajaan itu beralasan: bukankah penguasa tersebut menunaikan
shalat Idul Fitri dan Idul Adha? Bukankah dia merayakan maulid nabi?
Bukankah dia berzina dengan alibi nikah mut’ah yang dibolehkan oleh
sebagian fuqaha? Bukankah ketika penguasa menelanjangi muslim dan
muslimah yang bukan budak di berbagai penjara dan menyiksa mereka ada
dalilnya, yaitu perkataan Ali kepada utusan Hatib bin Abu Balta’ah,
“Keluarkan suratmu atau kami akan menelanjangimu?”
Bukankah penguasa boleh membunuh sepertiga rakyatnya agar dua pertiga
rakyatnya menyerah kepada dirinya. Semuanya itu ada dalil-dalilnya
menurut anggapan para ulama palsu saat ini. Mazhab Murji’ah ini karena
begitu longgarnya, berisikan para Musailamah tukang bohong!
Demikianlah, Imamul Ulama, Ibnu Utsaimin melakukan pengembangan dari
mazhab Murji’ah dengan mengatakan -sungguh, apa yang dikatakannya adalah
pendapat yang hampir-hampir bumi pun pecah dan gunung pun runtuh karena
begitu tidak masuk akalnya-, “Katakan, andai penguasa itu dihukumi
kafir, apakah itu berarti kita harus ikut mengobarkan kemarahan orang
terhadap penguasa hingga terjadi pembangkangan, chaos dan peperangan?
Tentu saja tindakan itu salah.”
Agar orang tidak salah memahami bahwa yang dia maksud adalah penguasa
di negaranya –karena menurut Ibnu Utsaimin, mereka masih berhukum
dengan syariat Islam, alhamdulillah- maka Ibnu Utsaimin menjelaskan,
“Seandainya penguasa di negara lain menjadi kafir, tetap saja tidak
boleh keluar (memberontak)…”
Ucapannya yang seperti itu menantang pernyataan Alquran yang sharih
(jelas), Sunnah yang shahih, dan ijma’ umat! Kemudian, Syaikh Al-Albani
mengadopsi aliran kontemporer lain dalam kerangka mazhab Murji’ah, ia
berkata, “Keluar (membangkang) penguasa pada masa sekarang ini sama saja
keluar dari Islam itu sendiri.” Al-Albani bersaksi para penguasa Saudi
Arabia itu tetap dalam keislaman mereka.
Selanjutnya, pembohong lain yang disebut sebagai mufti Agung
Pakistan, Rafi’ Utsmani berkata, “Orang-orang yang terbunuh karena
membela diri melawan serangan tentara pemerintah Pakistan bukanlah
syuhada!” Rafi’ Utsmani membantah hadits Rasulullah, “Barangsiapa
terbunuh membela hartanya, keluarganya, atau darahnya, atau agamanya,
maka dia mati syahid.” (HR Abu Daud: 4774)
Rafi’ Utsmani juga menyatakan bahwa orang-orang Amerika dan kaki
tangannya termasuk musta’man (non muslim luar yang dijamin keamanannya
karena adanya perjanjian tertentu) sekaligus dzimmi (non muslim yang
tinggal di negara Islam yang harus dilindungi harta, jiwa, dan
kehormatannya selama mau membayar pajak), tidak boleh diganggu di
Pakistan atau di negara mereka.
Rafi’ juga mencabut fatwa sebelumnya yang membolehkan operasi
istisyhad (bom berani mati syahid). Ia berkata, “Kita tidak terbebani
wajib jihad, kecuali apabila pemerintah (Presiden Musyarraf)
menyerukannya.”
Ini seperti kasus ketika Dhiyaul Haq menyerukan jihad melawan Rusia.
Mufti berkata, barangsiapa bertempur bersama Amerika melawan kaum
muslimin, dia hanya berdosa saja dan tidak kafir dan bahwa berhukum
dengan selain hukum Allah itu berdosa, namun tidak mengeluarkan dari
Islam. Paling banter itu adalah kufur kecil.
Itulah yang kebanyakan terjadi pada para imam dakwah dan ilmu agama
dari kelompok Murji’ah modern pada masa sekarang ini, baik yang sudah
mangkat atau pun yang masih hidup dan berbuat demikian.
Hal yang patut digarisbawahi mengenai aliran politik Murji’ah adalah,
mereka mau bertenggang rasa pada perilaku para raja dan penguasa,
tetapi mereka tidak mau bertenggang rasa pada aksi para mujahid dan
aktivis dakwah yang istiqamah. Mereka berani menghukumi para mujahidin
sebagai anjing-anjing penghuni neraka! Mereka itu harus dibunuh,
disalib, dipotong silang tangan dan kakinya, serta harus diusir dari
tempat kediamannya di dunia ini.
Aliran Murji’ah ini mempertanyakan, “Bagaimana mujahidin membunuh
Nasrani yang duduk di negeri kita dengan izin dari penguasa kita
sehingga dia telah menjadi
musta’min dan
mu’ahid!
Bagaimana boleh para penjahat dari orang-orang yang menyerukan jihad itu
lalu menumpahkan darah salibis yang ‘suci’! Bagaimana boleh mereka
melanggar jaminan keamanan penguasa murtad yang memberinya hak aman?”
Satu catatan aneh dan mengherankan dari fenomena aliran Murji’ah
politik adalah bahwa para pemimpin mereka dari ekstrin tasawuf hingga
yang disebut ekstrim salafi, atau Asy’ari, Maturidi, dan aliran Ahli
Hadits memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang zat, asma, dan sifat
Allah.
Namun subhanallah, mereka justru sepakat dalam hal keislaman penguasa
(murtad), nama-nama, dan sifat-sifatnya, seperti yang terjadi di Maroko
dan Pakistan, yang aliran ini eksis di sana. Aliran Murji’ah politik
ini mau bersikap longgar kepada raja di bumi, tapi tidak mau bertenggang
kepada Raja langit dan bumi serta isinya.
Penulis tampaknya tidak menemukan justifikasi bagi fenomena mazhab
ini ketika mereka memilih dunia politik dan aktivitas demokrasi, kecuali
dengan menggolongkan mereka sebagai bagian dari al-mala’ (kroni-kroni).
Sebab, mereka akan masuk kedalam parlemen (institusi yang membuat hukum
selain hukum Allah) dan masuk pemerintahan (institusi yang menerapkan
hukum selain hukum Allah). Lantas, bagaimana mereka kemudian mengingkari
penguasa, sedangkan mereka sudah masuk dalam golongan, sekutu, dan
kroninya?
Lalu, apa solusinya? Solusinya adalah dengan tidak masuk kedalam
institusi-institusi tersebut atau dengan menyatakan keislaman penguasa
tersebut! Dan ternyata mereka lebih memilih yang mudah dan enak, yaitu
menyatakan keislaman penguasa murtad yang menantang Allah dengan perang
dan permusuhan, serta mencabut hak paling khusus Allah berupa uluhiyah.
- Syeikh Abu Mus’ab Assuri-