Eramuslim.com Di antara
Nubuwwah (prediksi Nabi Muhammad
shollallahu ’alaih wa sallam)
ialah persoalan para pemimpin yang sebaiknya ditolak. Dalam hadits
tersebut digambarkan bahwa suatu ketika di masa yang akan datang bakal
muncul para pemimpin yang dikenal di tengah masyarakat namun tidak
disetujui kerana sikap dan perilakunya yang zalim dan fasiq. Kemudian
Nabi
shollallahu ’alaih wa sallam memberi tahu kita bagaimana
sikap yang semestinya ditegakkan bila para pemimpin seperti itu muncul.
Untuk lebih jelasnya inilah tex hadits itu secara lengkap:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَتَكُونُ أُمَرَاءُ
فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ
وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Akan muncul pemimpin-pemimpin yang kalian kenal, tetapi kalian tidak menyetujuinya. Orang
yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang
tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya tidak
terbebaskan(dari tanggungan dosa).” Mereka bertanya: ”Apakah kami
perangi mereka?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Tidak, selagi mereka masih sholat.” (HR Muslim 3445)
Dengan jelas Nabi
shollallahu ’alaih wa sallam menyatakan
bahwa orang yang membenci para pemimpin yang zalim dan fasiq itu akan
terbebaskan dari tanggungan dosa. Orang yang tidak menyetujui mereka
akan selamat. Berarti hadits ini menegaskan sikap yang semestinya
dimiliki seorang mukmin ketika berhadapan dengan pemimpin yang memiliki
penyimpangan akhlak. Berbeda sekali dengan anggapan sebahagian orang yang
mengatakan bahawa di dalam ajaran Islam bagaimanapun perilaku seorang
pemimpin ummat harus tetap mematuhinya dan menganggapnya sebagai
ulil amri minkum (pemegang urusan di kalangan orang-orang beriman). Hadits ini jelas membantah anggapan naif tersebut...
..lagi
Lalu dengan tegas Nabi
shollallahu ’alaih wa sallam memperingatkan mereka yang rela dan mematuhi para pemimpin zalim dan fasiq itu. Beliau mengatakan bahwa ”Orang yang rela dan mematuhinya tidak terbebaskan(dari tanggungan dosa).” Di
sinilah ajaran Islam memandang bahwa urusan menyerahkan loyalitas dan
kepatuhan bukanlah perkara ringan. Sebab tidak saja si pemimpin berdosa
karena kezaliman dan kefasikannya. Tetapi rakyat ikut menanggung dosa
juga bila mereka tetap rela atas kezaliman dan kefasikan pemimpin
tersebut, apalagi kemudian mematuhinya. Sehingga Allah melarang seorang
beriman untuk mentaati siapapun dan apapun tanpa ilmu dan kesadaran akan
mana yang benar dan mana yang batil.
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al-Israa 36)
Namun suatu hal yang memang Nabi
shollallahu ’alaih wa sallam juga
anjurkan ialah agar ummat jangan berfikiran untuk memeranginya selagi
si pemimpin tersebut masih sholat. Menarik untuk diperhatikan ialah
pandangan Imam Nawawi mengomentari potongan hadits ini
”Apakah kami perangi mereka?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Tidak, selagi mereka masih sholat.” Beliau menulis sebagai berikut:
وَأَمَّا قَوْله : ( أَفَلَا نُقَاتِلهُمْ ؟ قَالَ : لَا ، مَا صَلَّوْا )
فَفِيهِ مَعْنَى مَا سَبَقَ أَنَّهُ لَا يَجُوز الْخُرُوج عَلَى الْخُلَفَاء
بِمُجَرَّدِ الظُّلْم أَوْ الْفِسْق مَا لَمْ يُغَيِّرُوا شَيْئًا مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام .
Maknanya ialah tidak dibenarkan keluar dari kepemimpinan khilafah
hanya semata berdasarkan kezaliman dan kefasiqan selama para pemimpin
itu tidak merubah sesauatupun dari kaedah-kaedah Al-Islam.
Ulama salaf ini dengan jelas sekali menggaris-bawahi bahwa selagi
pemimpin masih menegakkan secara formal sistem kekhalifahan dan tidak
merubah sesuatupun dari kaedah kaedah ajaran Al-Islam, maka tidak
dibenarkan bagi seorang mukmin meninggalkan atau keluar dari
kepemimpinan tersebut, walaupun akhlaq pemimpinnya zalim dan fasiq.
Saudaraku, permasalahan kita ummat Islam dewasa ini adalah bahwa
bukan saja negeri-negeri Islam dipimpin oleh sebagian besar pemimpin
yang berkepribadian zalim dan fasiq, tetapi sudah jelas mereka tidak
menegakkan sistem kekhalifahan dan bahkan nyata benar bahwa
kaedah-kaedah Islam telah banyak yang dirubah, baik oleh sang pemimpin
tertinggi maupun oleh kepemimpinan kolektif kolaborasi lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Untuk membuktikan kebenaran sinyalemen di atas tidaklah sulit. Karena
dalam realitas keseharian terlalu banyak contoh kasus yang
membenarkannya daripada membantahnya. Sungguh benarlah kita dewasa ini
sedang menjalani masa fitnah sebagaimana telah disinyalir Rasulullah
shollallahu ’alaih wa sallam.
بَادِرُوا فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي
كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersegeralah beramal
sebelum datangnya fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita,
seorang laki-laki diwaktu pagi masih mukmin dan diwaktu sore telah
kafir, dan diwaktu sore masih beriman dan paginya sudah menjadi kafir,
ia menjual agamanya demi kesenangan dunia.“(HR Ahmad 8493)
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا
وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“Ya Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan
kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang
kafir”. (QS Al-Baqarah 250)