Fatwa Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
Beliau menulis dalam Fiqhus Sunnahnya:
روى ابن عساكر عن ابن عباس: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان ربما نزع قلنسوته فجعلها سترة بين يديه.
وعند الحنفية أن ه لا بأس بصلاة الرجل حاسر الرأس، واستحبوا ذلك إذا كان للخشوع.
ولم يرد دليل بأفضلية تغطية الرأس في الصلاة.
“Diriwayatkan
oleh Ibnu ‘Asakir dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membuka penutup kepalanya (seperti
surban) dan menjadikannya sebagai sutrah (pembatas) di hadapannya, dan
beliau shalat sehingga tidak ada seorang pun yang lewat di depannya.
Menurut Hanafiyah, tidak apa-apa shalatnya laki-laki dengan kepala
terbuka, mereka menganjurkannya jika itu membawa kekhusyu’an.
Tak ada dalil tentang keutamaan menutup kepala ketika shalat.” (Fiqhus Sunnah, 1/128. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’
Mereka ditanya tentang imam yang kepalanya terbuka alias tidak mengenakan peci, bolehkah?
Jawabnya:
الرأس
ليس بعورة لا في الصلاة ولا في غيرها سواء كانوا بالغين أو غير بالغين ،
لكن ستره بما يناسبه مما جرت به العادة ولا مخالفة فيه للشرع يعتبر من باب
الزينة فيستحسن ستره في الصلاة عملاً بقوله تعالى {يا بني آدم خذوا زينتكم
عند كل مسجد } . ويتأكد ذلك بالنسبة للإمام .
“Kepala bukanlah
aurat, baik saat shalat atau di luar shalat, sama saja baik dengan
penutup atau tidak. Tetapi menutupnya dengan apa yang semestinya yang
telah menjadi kebiasaan dan tidak bertentangan syara’, itu merupakan
kategori pembahasan perhiasan. Maka, memperbagusnya dalam shalat
merupakan pengamalan dari firman-Nya: “Wahai Anak-anak Adam pakailah
perhiasan kalian ketika memasuki setiap masjid.” Bagi imam hal ini lebih
ditekankan lagi. (Lihat Fatawa Islamiyah, Kitabus Shalah, 1/615.
Disusun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid. Syamilah)
Fatwa Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah
Beliau ditanya tentang orang yang shalat tanpa menutup kepala baik imam, makmum, atau shalat sendiri, bolehkah?
تغطية
الرأس فى الصلاة لم يرد فيها حديث صحيح يدعو إليها ، ولذلك ترك العرف
تقديرها ، فإن كان من المتعارف عليه أن تكون تغطية الرأس من الآداب العامة
كانت مندوبة فى الصلاة نزولا على حكم العرف فيما لم يرد فيه نص ، وإن كان
العرف غير ذلك فلا حرج فى كشف الرأس "ما رآه المسلمون حسنا فهو
عند الله حسن " .
وروى ابن عساكر عن ابن عباس رضى الله
عنهما أن النبى صلى الله عليه وسلم كان ربما نزع قلنسوته فجعلها سترة بين
يديه وهو يصلى حتى لا يمر أحد أمامه . والقلنسوة غطاء الرأس .
وعند الأحناف لا بأس بصلاة الرجل حاسر الرأس أى مكشوفا ، واستحبوا ذلك إذا كان الكشف من أجل الخشوع
“Menutup
kepala ketika shalat, tidak ada hadits shahih yang menganjurkannya. Hal
itu hanyalah meninggalkan kebiasaan saja. Jika telah dikenal secara
baik bahwa menutup kepala merupakan adab secara umum, maka hal itu
dianjurkan dalam shalat sebagai konsekuensi hukum Al ‘Urf (tradisi)
terhadap apa-apa yang tidak memiliki dalil syara’. Jika tradisinya
adalah selain itu, maka tidak mengapa membuka kepala. “apa-apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah itu juga baik.”
Diriwayatkan
oleh Ibnu ‘Asakir dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membuka penutup kepalanya (seperti
surban) dan menjadikannya sebagai sutrah (pembatas) di hadapannya, dan
beliau shalat sehingga tidak ada seorang pun yang lewat di depannya.
Menurut Hanafiyah, tidak apa-apa shalatnya laki-laki dengan kepala
terbuka, mereka menganjurkannya jika itu membawa kekhusyu’an. (Fatawa Al
Azhar, 9/107. Syamilah)
Fatwa Para Ulama Kuwait
Dalam Al Mausu’ah disebutkan sunahnya memakai penutup kepala:
لاَ
خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي اسْتِحْبَابِ سَتْرِ الرَّأْسِ فِي
الصَّلاَةِ لِلرَّجُل ، بِعِمَامَةٍ وَمَا فِي مَعْنَاهَا ، لأَِنَّهُ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ كَذَلِكَ يُصَلِّي
“Tidak
ada perbedaan pendapat di antara para ahli fiqih tentang kesunahan
menutup kepala ketika shalat bagi laki-laki baik dengan surban atau yang
semakna dengan itu karena begitulah shalatnya Nabi Shallallahu “Alaihi
wa Sallam. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 22/5. Maktabah
Misykah)
Sedangkan Imam Ibnu Taimiyah, mengisyaratkan bahwa
membuka kepala ketika beribadah adalah makruh dan munkar. Hal ini
ditegaskan dalam Fatawa Al Kubra-nya ketika beliau ditanya tentang
manusia yang berkumpul lalu berdzikir dan membaca Al Quran, dengan
membuka kepala dan merendahkan diri, mereka membacanya bukan maksud riya
atau sum’ah, demi untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, boleh
atau tidak?
Beliau menjawab:
الِاجْتِمَاعُ عَلَى
الْقِرَاءَةِ وَالذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ حَسَنٌ مُسْتَحَبٌّ إذْ لَمْ
يُتَّخَذْ ذَلِكَ عَادَةً رَاتِبَةً ، كَالِاجْتِمَاعَاتِ الْمَشْرُوعَةِ ،
وَلَا اقْتَرَنَ بِهِ بِدْعَةٌ مُنْكَرَةٌ .
وَأَمَّا كَشْفُ
الرَّأْسِ مَعَ ذَلِكَ فَمَكْرُوهٌ ، لَا سِيَّمَا إذَا اُتُّخِذَ عَلَى
أَنَّهُ عِبَادَةٌ ، فَإِنَّهُ يَكُونُ حِينَئِذٍ مُنْكَرًا وَلَا يَجُوزُ
التَّعَبُّدُ بِذَلِكَ .
“Berkumpul untuk membaca, berdzikir dan
berdoa adalah perbuatan baik dan dianjurkan, jika hal itu tidak
dijadikan kebiasaan yang rutin, itu sebagaimana perkumpulan yang
disyariatkan, dan janganlah hal itu dicampur dengan bid’ah yang munkar.
Ada
pun membuka kepala saat itu adalah makruh, apalagi melakukannya ketika
ibadah, maka saat itu hal tersebut adalah munkar dan tidak boleh
beribadah seperti itu.” (Fatawa Al Kubra, 1/6. Syamilah)
Apa yang
difatwakan Syaikhul Islam ini, jika yang dimaksudkan adalah membuka
kepala ketika ibadah adalah ketika shalat, maka pemakruhannya masih bisa
didiskusikan lagi. Bagaimana mungkin makruh, jika tak satu pun hadits
shahih tentang keutamaan dan anjurannya? Bahkan Nabi sendiri pernah
shalat tanpa menutup kepalanya, walau Beliau lebih sering
menggunakannya. Begitu pula membuka kepala ketika membaca Al-Quran dan
berdzikir, tak ada pula riwayat yang menganjurkan tentang menutup
kepala. Lebih tepat hal itu disebut sebagai adab yang baik dan mulia,
paling tidak itu adalah sunnah.
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajma’in.
Wallahu A’lam.