SUDAH jelas sejak awal Jun 2012 bahwa partai Nidaa Tounes adalah koalisi yang sama sekali tak dideklrasikan antara anggota Parti Konstitusi Demokrat—parti mantan Presiden Zine el-Abidine Ben Ali—dengan anggota serikat buruh dan kaum kiri dari berbagai lapisan kiri dan beberapa elemen independen di Tunisia.
Menurut wacana sejak awal, Nidaa muncul dengan sendirinya sebagai alternatif untuk Gerakan Ennahda dan sekutunya dalam “troika” pembagian kekuasaan pemerintah, Forum Demokrasi untuk Tenaga Kerja dan Kebebasan, dan Kongres untuk Republik.
Pada titik ini, parti sudah memobilisasi semua kekuatan dalam kempen pemilu legislatif pada periode antara 4 dan 24 Oktober untuk menggalang pendukungnya, sembari mengapungkan wacana yang menakutkan kepada pemilih Ennahda yang mungkin akan membatasi kebebasan pribadi rakyat Tunisia.
Hasilnya? Menurut OnIslam.net ,Parti Nidaa Tounes menang besar. Ennahda—seperti parti Islam di belahan negara penduduk Muslim yang banyak lainnya—tergerus oleh tsunami politik.
Tidak adanya Strategi Media....lagi
Masalah utama Ennahda tampaknya adalah ketidakmampuan mengelola dialog dengan media-media berpengaruh di Tunisia. Maka jelas, pesan kuat Partai Nidaa soal menakutnya jika Ennahda menang kampanye, langsung disambut gayung oleh media-media setempat.
Memang, Ennahda mampu mengumpulkan banyak orang kampanye pemilu melalui iklan yang baik, tapi itu saja tidak cukup. Bahkan dari iklan-iklan itu, partai-partai sekuler nyatanya mampu membentuk aliansi elektoral rahasia untuk mengelola pertempuran yang
baik dan mengalahkan musuh yang tidak bisa dikalahkan dalam keadaan biasa saja.
Perlu dicatat pula bahwa kenyaatan di lapangan menunjukkan adanya aliansi rahasia Partai Nidaa Tounes.
Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa semua elemen sekuler di negeri ini sudah menetapkan satu cara dan fokus suara mereka dalam mendukung Nidaa untuk menghindari kekalahan telak terhadap Ennahda.
Beberapa analis lainnya mengatakan bahwa beberapa kaum Kiri di beberapa daerah pemilihan telah memilih Nidaa dengan tujuan mengubah keseimbangan kekuasaan. Ini tentu sja membuat partai ini mendapatkan persentase kursi tertinggi dalam pemilihan majelis rakyat.
Tidak adanya sekutu
Menurut beberapa pengamat, kegagalan Ennahda dalam mengelola beberapa masalah ekonomi dan memenuhi tuntutan sosial pada masa pemerintah troika tetap menjadi alasan sekunder akan kekalahan mereka.
Beberapa anggota Ennahda juga membantu dalam distorsi gambar melalui penampilan yang tidak wajar dalam program televise dan radio.
Akhirnya, mungkin cukup untuk mengatakan bahwa pihak Nidaa menemukan lebih banyak sekutu untuk mendukungnya bahkan dari luar spektrum politik. Sebaliknya, paling menyakitkan, tidak ada satupun aliansi yang Ennahda, yang membuatnya menghadapi sendiri kekuatan politik dalam pemilu. [
sa/islampos]