Razeki memang sudah ditetapkan oleh Allah Ta’ala, dan semuanya sudah tercatat rapi di Lauhul Mahfuzh. Namun, apakah itu bererti harus berdiam diri tanpa menjemput razeki, ataukah harus berusaha untuk mendapatkannya? Inilah yang kadang disalahfahami oleh sebahagian manusia.
Ada kisah menarik terkait hal ini; yaitu kisah antara Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi yang disebutkan oleh Ibnu Asakir dalam Târîkh Madînati Dimasyq (23/135). Berikut ini adalah kisahnya:
Dari Khalaf bin Tamim, ia berkata, “Ibrahim bin Adham dan Syaqiq bertemu di Mekah. Ibrahim kemudian bertanya kepada Syaqiq, “Apa yang membuatmu hidup sangat bersahaja seperti ini?”
Syaqiq menjawab, “Suatu ketika, aku pernah berjalan melalui beberapa gurun yang tandus. Lalu aku melihat seekor burung yang patah dua sayapnya di sebuah gurun. Aku pun berkata dalam hati, ‘Aku ingin melihat bagaimana burung ini mendapatkan makanan.’ Aku duduk persis di hadapan burung tersebut. Tiba-tiba ada seekor burung lain yang datang dan diparuhnya ada belalang, lalu ia meletakkan belalang tadi di paruh burung yang kedua sayapnya patah. Aku berkata dalam hati, ‘Wahai diriku, Zat yang menuntun burung yang sihat ini membawakan makanan untuk burung yang patah kedua sayapnya itu tentu juga kuasa untuk memberikan razeki kepadaku, di manapun aku berada.’ Setelah kejadian itu, aku meninggalkan kerja, dan hanya berkonsentrasi dalam ibadah.”
Mendengar cerita Syaqiq, Ibrahim bin Adham pun berkata, “Wahai Syaqiq, kenapa engkau tidak ingin mengambil peranan seperti burung yang sihat itu, dimana ia memberi makan burung yang sakit sehingga ia lebih utama? Tidakkah engkau mendengar sabda Nabi saw, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan di antara salah satu ciri orang mukmin adalah senantiasa mencari tingkatan yang paling tinggi dalam segala hal, hingga mencapai derajat orang-orang yang dekat dengan Allah.”
Setelah mendengar jawaban Ibrahim, Syaqiq pun menjabat tangan Ibrahim dan menciumnya, seraya berkata, “Anta ustâdzuna yâ Abâ Ishâq…, engkaulah guru kami yang sesungguhnya wahai Abu Ishaq.”
Penulis : Dhani El_Ashim/
http://www.kiblat.net